Pertama, tekanan akademik atau pekerjaan menjadi faktor utama. Sistem pendidikan di Jepang cukup kompetitif, mirip dengan di Korea Selatan dan negara maju lainnya. Kesuksesan karir di masa depan seringkali dikaitkan dengan kesuksesan di sekolah.
Jika seseorang gagal di sekolah, kemungkinan besar karirnya juga akan terganggu, dan ini dianggap sebagai aib. Selain itu, ada juga tekanan dari proses seleksi kerja yang sangat kompetitif, seperti susuku katsudo, yang bisa menentukan kesuksesan karir seseorang di masa depan.
Jika gagal, seseorang dapat dianggap sebagai bagian dari "Lost Generation" yang tidak memiliki karir stabil dan dihadapkan pada ketidakjelasan masa depan.
2. Budaya Honne dan Tatemae
Alasan kedua adalah norma sosial di Jepang yang sangat menekankan pada budaya konformitas dan kolektivitas. Masyarakat Jepang cenderung mengikuti standar dan norma yang ada, termasuk dalam hal berpakaian dan gaya rambut.
Hal ini mungkin terjadi karena budaya ini muncul dari istilah "Hone" dan "tatemae" yang merujuk pada jati diri pribadi dan topeng publik. Seseorang harus memiliki topeng publik yang tepat sesuai norma untuk dapat diterima dalam masyarakat.
Akibatnya, banyak orang merasa perlu untuk menyembunyikan bagian asli dari diri mereka, yang menyebabkan perasaan tidak autentik dan terlalu memperhatikan pandangan orang lain.
Semakin beradab suatu masyarakat, semakin banyak masalah kesehatan mental yang muncul, meskipun tidak ada perang atau bencana besar. Hal ini telah dibahas oleh Simon Froid dalam bukunya "Civilization and Its Discontents."
Semakin kita mencoba untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial, semakin mungkin kita menghadapi stres dan tekanan yang berat, sehingga ada banyak orang yang mengalami depresi.
Fenomena hikikomori ini menunjukkan seberapa besar dampaknya pada individu yang merasa terpaksa menyembunyikan diri mereka dan menghadapi stres berat.
3. Pengaruh Kelas Masyarakat
Mengisolasi diri adalah karakteristik hikikomori yang juga terjadi di banyak keluarga kelas menengah. Orang tua dalam keluarga ini mampu menyediakan kebutuhan finansial anak-anaknya, sehingga mereka memiliki lebih banyak waktu untuk menangani isu lainnya.
Orang miskin jarang mengalami hikikomori karena mereka harus bekerja untuk mencari nafkah. Di sisi lain, keluarga kelas menengah sering merasa perlu untuk menjaga citra dan harapan tinggi, yang dapat menyebabkan stres.
Orang tua mungkin enggan mencari bantuan dari psikolog dan membiarkan anaknya tetap di dalam kamar meskipun ini bisa menjadi masalah serius.
Pola asuh yang over protektif juga dapat menyebabkan masalah serius, seperti dalam kasus "80-50" di mana orang tua yang telah berusia 80 tahun harus menanggung beban anak yang berusia 50 tahun yang seharusnya mandiri.
Belajar dari Jepang, penting untuk menetapkan ekspektasi yang realistis, terutama untuk diri sendiri. Tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah ekspektasinya agar menghindari burn out atau kekecewaan yang berlebihan.
Ini merupakan bagian penting dalam kurikulum Life skills, terutama pada level 1, di mana etika, kewarganegaraan, dan penampilan berada. Menguasai etika dan cara bersikap yang baik dalam budaya saat ini adalah keterampilan yang vital untuk bertahan dalam lingkungan sosial yang kompleks ini.