Hikayat Peluit Dan Tongkat: Menjadi Pak Ogah Bukan Pilihan, Demi Receh Bertarung Di Jalanan

Sabtu 24-09-2022,16:35 WIB
Reporter : Akaml Firmansyah
Editor : Rita ariyanti

Di samping saat ini prestise dan privilese anak-anak muda yang lahir di keluarga berada, bermolek keluguan dan kepolosan berbeda dengan Dimas yang harus bertarung dengan kerasnya jalan, ia tidak menyerah.

Lika-Liku Hidup Di Jalan

Saat ini Dimas, menghidupi sehari-hari menjadi juru parkir, menertibkan lalu lintas di pertigaan Rancabali yang ada di Padalarang, ia membantu menyebrang kendaraan-kendaraan dari arah Cianjur agar bisa ke melaju ke Arah Gunung Bentang.

Atau ia membantu menyebrang orang-orang yang hendak melaju ke arah kota Bandung dari arah Padalarang.

Lengkap ia memakai seragam dinas sehari-hari, topi yang usam dengan debu, rompi bertuliskan juru parkir berwarna oranye, memberhentikan kendaraan dengan tongkat yang umumnya kita lihat selalu dipakai juru parkir.

Ia berteriak-teriak, lengannya dengan lihai menstopkan kendaraan-kendaraan supaya berhenti.

"Saya biasanya dari jam 9 pagi sampai sore," ungkapnya.

Pekerjaan ini bergilir dengan temannya yang lain, "jadi biasanya kami giliran"imbuhnya.

Selain itu, pekerjaan ini lumayan bisa mengantongi uang untuk kebutuhan sehari-hari, "lumayanlah buat makan dan hidup sehari-hari mah, seratus ribu mah ada," ucap Dimas.

Pekerjaan ini tidak mudah, jiwa dan raga dikorbankan selain itu selalu ia menerima cacian menganggap tidak becus pada dirinya, padahal sekuat tenaga dilakukannya.

Tidak hanya itu, Dimas pun terpaksa meminggir bila ada polisi lalu lintas yang menertibkan lalu lintas. "Jadi kalau ada polisi, kami minggir dulu, terus kalau udah gak ada kami kembali bekerja," kata Dimas.

Hujan yang mengguyur Padalarang pada Jumat itu berhenti, pukul 10.45, Dimas kembali bekerja, dengan kaki yang terpongah-pongah karena jatuh, demi receh ia kembali menerbitkan lalu lintas semwarutnya Padalarang.*(Mg1)

Kategori :