Perspektif Pernikahan Dini Menurut Sosial, Budaya, Hukum dan Agama
Perspektif Pernikahan Dini-Ist-
Komnas Perempuan mencatat bahwa sepanjang tahun 2021 terdapat lebih dari 59.000 kasus pernikahan dini yang mendapat dispensasi dari pengadilan agama. Berdasarkan data BKKBN, angka pernikahan dini di Indonesia adalah 20 per 1.000, yang berarti dari setiap 1.000 orang terdapat 20 kasus pernikahan dini.
Menurut Badan Pusat Statistik, 19,24% pemuda menikah pada usia 16 hingga 18 tahun, dengan mayoritas kasus dilakukan oleh pihak perempuan. Data ini menunjukkan bahwa satu dari sepuluh anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Ada beberapa perspektif yang mengatur dan memandang pernikahan dini sebagai salah satu pemecahan masalah hidup, maupun justru adalah pemicunya.
Perspektif Pernikahan Dini Menurut Sosial
Fakta-fakta ini memunculkan pertanyaan besar, mengapa anak-anak yang seharusnya masih berada dalam tahap pendidikan, dengan mental yang belum stabil dan fisik yang belum matang untuk hamil, sudah terlibat dalam pernikahan yang memaksa mereka memikul tanggung jawab besar, termasuk membesarkan anak?
Sebuah pernikahan dini terjadi di Pemalang, Jawa Tengah, dan menjadi viral di media sosial. Pernikahan ini menjadi sorotan karena kedua mempelai masih di bawah umur dan masih duduk di bangku SMP. Meskipun berbagai alasan telah dikemukakan, banyak pihak yang sulit menerima pernikahan anak di usia dini.
Dari sudut pandang masyarakat tradisional, pernikahan dini sering dilakukan untuk menghindari status "perawan tua," terutama bagi anak perempuan. Dari sisi pergaulan, marak terjadi kehamilan di luar nikah, sedangkan dari sudut pandang agama, alasan yang sering dikemukakan adalah untuk menghindari zina.
Menurut riset Puskap UI pada tahun 2023 yang dilansir The Conversation, sepertiga atau sekitar 36% dari permohonan pernikahan ke Pengadilan Agama didasari oleh kehamilan di luar nikah. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa di beberapa wilayah, seperti Sukabumi, Jawa Barat, pernikahan dini sering dilakukan karena ketakutan akan zina, rendahnya tingkat pendidikan, dan kemiskinan.
Perspektif Pernikahan Dini Menurut Budaya
Di Suku Dayak, Kalimantan Barat, kemiskinan menjadi alasan utama seorang perempuan menikah dini karena terbatasnya akses untuk mendapatkan pekerjaan. Selain itu, kehamilan di usia anak, faktor budaya, dan adat istiadat juga berperan. Di Suku Asak, Nusa Tenggara Barat, seorang anak perempuan dianggap siap menikah ketika sudah mampu menenun dan mengolah mutiara, meskipun usianya masih 14 tahun.
Yayasan Kesehatan Perempuan menyebutkan bahwa pernikahan anak cenderung menitikberatkan beban pada pihak perempuan. Ada dorongan bagi anak perempuan untuk mengikuti jejak teman-temannya yang lebih dulu menikah dan dianggap bahagia.
Stereotip bahwa perempuan harus menikah cepat juga menjadi faktor pendorong. Selain itu, faktor ekonomi menjadi masalah besar, di mana kemiskinan memaksa orang tua meminta anak perempuan mereka berhenti sekolah dan menikah agar beban finansial beralih ke suaminya.
Fenomena pernikahan anak memang kontroversial. Data dan penyebabnya tentu lebih kompleks dari yang terlihat. Fenomena ini ibarat gunung es, di mana kasus yang terungkap hanyalah sebagian kecil dari jumlah sebenarnya. Kasus-kasus yang terjadi memunculkan beragam pendapat, dari yang mendukung hingga yang menentang pernikahan dini.
Perspektif Pernikahan Dini Menurut Agama
Orang yang pro terhadap pernikahan dini umumnya memiliki beberapa alasan mendasar, terutama dari perspektif agama dan sosial. Alasan yang paling sering muncul adalah untuk menghindari zina, terutama karena banyak kasus kehamilan di luar nikah pada usia yang berada dalam fase perkembangan hormon seksual. Pernikahan dini dianggap sebagai solusi untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, baik karena dorongan pribadi maupun tekanan dari orang tua.
Selain itu, ada juga pandangan bahwa pernikahan adalah ibadah. Artinya, menikah di usia muda dipandang sebagai cara untuk mendapatkan lebih banyak pahala dari pernikahan. Dari perspektif agama, ada yang berpendapat bahwa yang penting adalah anak sudah baligh, di mana perempuan ditandai dengan menstruasi dan pria ditandai dengan kemampuan memproduksi sperma.
Ada juga yang berargumentasi bahwa nikah muda sudah terjadi sejak zaman dulu, tetapi karena standar zaman sekarang berbeda, pernikahan dini terasa aneh. Beberapa orang berpendapat bahwa selama kedua belah pihak bertanggung jawab, tidak ada masalah dengan pernikahan dini. Alasan lainnya adalah menjaga nama baik keluarga, karena dikhawatirkan anak tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya.
Di sisi lain, pihak yang kontra pernikahan dini memiliki argumen yang kuat, terutama dari perspektif kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Pernikahan dini sering dikaitkan dengan tingginya risiko kehamilan pada remaja yang secara fisik belum siap untuk mengandung dan melahirkan.
Menurut BKKBN, risiko kematian ibu muda di bawah 18 tahun selama kehamilan lebih tinggi dibandingkan ibu yang lebih tua, dan bayi yang dilahirkan berpotensi mengalami stunting. Selain itu, pernikahan dini sering menyebabkan putus sekolah, serta secara emosional, remaja yang menikah muda belum tentu cukup matang untuk menghadapi dinamika pernikahan.
Sumber: