Yayasan Anugerah Insan Residivis, Melawan Stigma Negatif Mantan Narapidana
Pendiri Yayasan Anugerah Insan Residivis, Asep Djuheri (kiri), bersama seorang penghuni yayasan, Ronald Carl (kanan) di ruang kerjanya, Jl. Cikungkurak, Kec. Babakan Ciparay, Kota Bandung.- (Nizar/Jabar Ekspres)-
BERTAHUN-tahun, mantan narapidana alias seorang residivis masih dipandang sebelah mata. Ada stigma negatif di sana. Pun tidak jarang mereka diremehkan. Bahkan sampai tidak pernah diberi kesempatan. Babak akhirnya mudah ditebak: mereka berputar di lingkaran setan.
Muhamad Nizar, Jabar Ekspres.
Bebas dari hotel prodeo. Asep Djuheri, 49, memberi tanda di depan pijakan kakinya. Sebuah garis yang membatasi dirinya dengan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kebon Waru, Kota Bandung yang berdiri ngeri di hadapannya. Dia bertekad. Ini menjadi yang terakhir kalinya.
Dia memang tidak pernah jera dipenjara. Tak ubahnya langganan hotel paling setia. Sekira rentang 10 tahun dihabiskan dalam balik teralis besi. Dengan kasus yang sama, pencurian kendaraan bermotor. Itu membikin dirinya keluar masuk penjara sebanyak delapan kali.
"Saya tidak akan lagi masuk ke penjara, tidak akan memakai narkoba. Takkan pernah mencuri lagi," ucapnya kepada wartawan di kantor Yayasan Anugerah Insan Residivis (AIR), Kota Bandung, kemarin.
Dia lantas menceritakan awal mula dirinya berputar di lingkaran setan. Dua faktor penyebabnya. Klise. Masalah ekonomi dan pengaruh dari lingkungan sekitar, tempat di mana dia tumbuh.
Besar bersama sepuluh saudara. Dia sebagai anak nomor tiga, merasa memiliki niatan untuk menghidupi ketujuh adiknya. "Bagaimana caranya saya sebagai anak SMP, tapi bisa menghidupi adik saya?" tanyanya.
Namun lingkungan yang membesarkan dia, ialah para pemain 'dunia gelap'. Teman nongkrong. Dia mulai mengetahui celah-celah kejahatan. Jawaban dari pertanyaannya pun tak sesulit merapikan baju yang berantakan.
"Kalau tidak jual narkoba, ya, berbuat kriminal. Curanmor. Waktu itu mencuri motor, menjanjikan. Dua menit dapet duit," kata Heri.
Hal itupun dirinya lakukan. Sampai ujungnya Heri merasa hampa. Segalanya terasa tak ada guna. Apalagi setelah melihat seluruh adiknya sudah bisa hidup mandiri. Memiliki keluarga sendiri. Dia berpikiran bahwa mereka tidak perlu diberi tanggungan lagi.
Maka, pada kebebasan yang kedelapan, di atas tanah tempat kakinya berpijak, di depan Lapas Kebon Waru, dia bertekad. Dia goreskan garis pembatas. Tidak sudi kembali lagi ke sana.
Apa lacur, tekad yang kuat masih belum mampu mengatasi masalah kecanduan atas narkotika. Dua bulan selepas dinyatakan bebas. Dinihari. Badan menggigil dan sakau (candu) menyelimuti. Saking tidak kuat menahan. Dia berniat bunuh diri.
"Antara mati dan hidup," ujarnya.
Dia menjelaskan, keinginan mengakhiri hidup tersebut muncul lantaran tiga faktor. Tentu, masalah kecanduan narkoba. Disamping itu, kebiasaan mencuri sering muncul. Terakhir soal tertekan stigma negatif dari masyarakat.
Sumber: