Replikasi sistem pengelolaan sampah berbasis rumah tangga dinilai sebagai langkah strategis dalam menghadapi kondisi darurat sampah. Hal ini disampaikan oleh Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Kabupaten Bandung Barat (KBB), dr. Enung Masruroh, MM, dalam Workshop Pengelolaan Sampah yang digelar di Padalarang pada 22 Juli 2025.
Ia menekankan bahwa pendekatan dari hulu, khususnya di level rumah tangga, sangat sejalan dengan pilar keempat dalam pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Sebagai respons konkret terhadap persoalan ini, Dinas Kesehatan Kota Bandung berkomitmen untuk berkolaborasi dengan Program Pengurangan Sampah dari Sumbernya (PPAM) dan ISWMP.
Bentuk kolaborasi ini diwujudkan dalam kampanye publik dan kegiatan edukasi masyarakat dikenal sebagai proses pemicuan yang akan berlangsung selama dua bulan ke depan. Upaya ini juga akan mengoptimalkan peran para sanitarian sebagai ujung tombak edukasi dan fasilitasi langsung di lapangan.
Kegiatan di setiap lokasi meliputi sejumlah tahapan penting mulai dari koordinasi awal, forum diskusi kelompok (FGD) lintas pemangku kepentingan, sosialisasi kepada warga, penyediaan sarana sederhana untuk pemilahan, hingga pemantauan harian atas praktik pemilahan dan pengangkutan sampah.
Warga diberikan edukasi intensif untuk memilah sampah menjadi tiga kategori utama: organik (seperti sisa makanan dan daun), anorganik (seperti plastik, kertas, dan logam), serta residu (seperti popok dan pembalut).
Untuk mendukung perubahan perilaku ini, disediakan berbagai sarana pemilahan seperti tong sampah terpilah, komposter, pipa loseda, dan dropbox daur ulang. Menariknya, sebagian besar sarana ini diperoleh melalui swadaya masyarakat, yang mencerminkan tingginya komitmen dan semangat gotong royong.
Dengan pendekatan yang menyeluruh dan partisipatif ini, PPAM tidak hanya menumbuhkan kesadaran, tetapi juga membangun fondasi sistem pengelolaan sampah berbasis komunitas yang dapat direplikasi di kawasan lain.
Hasil Awal yang Menjanjikan: Pemilahan Tumbuh, Perilaku Berubah Implementasi kegiatan Penguatan Peran Aktif Masyarakat (PPAM) di empat lokasi percontohan menunjukkan hasil awal yang sangat menjanjikan. Di dua wilayah Kelurahan Cigondewah Kaler dan Rancanumpang seluruh rumah tangga berhasil mencapai 100% partisipasi dalam pemilahan sampah.
Warga secara rutin menyetorkan sampah organik untuk diolah menjadi kompos atau pakan maggot, sementara sampah anorganik disalurkan ke bank sampah setempat. Untuk sampah residu, pengangkutan dilakukan oleh petugas sesuai jadwal yang disepakati dalam musyawarah warga, menciptakan sistem yang tertib dan terstruktur.
Lebih dari sekadar capaian teknis, perubahan perilaku mulai tampak di tengah masyarakat. Stiker “Saya Sudah Pilah Sampah” menjadi simbol komitmen yang mendorong rasa bangga dan tanggung jawab kolektif bahkan muncul rasa malu bagi mereka yang belum memilah. Antusiasme warga dalam forum RT maupun kegiatan kerja bakti lingkungan meningkat signifikan, menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan kini mulai tumbuh dari dalam komunitas itu sendiri.
Tak sedikit pula rumah tangga yang secara sukarela menawarkan rumahnya untuk dijadikan titik dropbox kompos atau bank sampah mini, memperkuat sistem logistik skala mikro di lingkungan masing-masing.
Sementara itu, dua lokasi lainnya Kelurahan Nyengseret dan Kujangsari meskipun belum seluruh kepala keluarga (KK) memilah sampah, menunjukkan tren partisipasi yang terus meningkat seiring berjalannya pendampingan.
Ini membuktikan bahwa dengan pendekatan yang tepat dan pendampingan yang konsisten, perubahan perilaku pengelolaan sampah di masyarakat dapat tumbuh secara organik dan berkelanjutan.
Tantangan dan Pelajaran: Membangun Perubahan dari Proses Seperti halnya inisiatif berbasis komunitas lainnya, pelaksanaan kegiatan PPAM di Kota Bandung juga menghadapi berbagai tantangan di lapangan. Masih ada warga yang belum memahami manfaat langsung dari memilah sampah, baik dari sisi lingkungan maupun ekonomi.
Di beberapa wilayah, ketiadaan mitra offtaker yang aktif seperti bank sampah atau TPS3R turut membatasi alur pengelolaan sampah yang telah dipilah. Selain itu, keterbatasan jumlah tenaga fasilitator menjadi kendala tersendiri, terutama untuk menjangkau lingkungan padat penduduk melalui edukasi dari pintu ke pintu.