QUO VADIS PENDIDIKAN INDONESIA?

Selasa 11-02-2025,20:01 WIB
Reporter : Wanda Novi
Editor : Wanda Novi

 

Oleh: Arika Ristiani

RADAR JABAR - Faktanya, Indonesia bukanlah negara yang kekurangan motivasi untuk belajar. Mulai dari pahlawan bangsa yang berasal dari Sabang hingga Merauke, semuanya memiliki semangat tinggi dalam mencapai dan mengenyam pendidikan. Banyak kata mutiara tentang pendidikan, contohnya “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan” dari Tan Malaka, “Belajar tanpa berpikir itu tidaklah berguna, tapi berpikir tanpa belajar itu sangatlah berbahaya!” dari Bung Karno, presiden pertama kita, hingga “Tut Wuri Handayani” dari Ki Hajar Dewantara, telah tertulis pada buku-buku sejarah kita.

Namun, mengapa peringkat pendidikan kita berada dalam kondisi yang memprihatinkan? Mengapa rata-rata IQ Indonesia hanya menempati peringkat 130 dari 199 negara di dunia? Bukankah kita sedih ketika melihat fakta bahwa pendidikan kita hanya menempati peringkat 54 dari total 77 negara di dunia? Apa sebabnya Indonesia menempati peringkat 60 dari 61 di dunia dalam penguasaan terliterasi? Mengapa pula universitas peringkat 6-nya Malaysia lebih baik daripada universitas peringkat 1-nya Indonesia, padahal peringkat 6-nya Malaysia tersebut adalah universitas swasta?

Hal-hal tersebut tentunya sangat berefek pada kehidupan masyarakat Indonesia. Negara yang paling tidak terliterasi contohnya, yang paling parah di antara semua itu. Bukan hanya berdampak negatif pada sesama masyarakat kita, tapi juga mendapat dampak negatif dari dunia internasional. Secara mengejutkan, Indonesia ditempatkan pada peringkat pertama sebagai negara dengan netizen paling tidak sopan se-Asia. Bahkan, negara kita tercinta dinobatkan sebagai peringkat ke-4 di dunia. Bukankah kita sangat miris dengan kenyataan ini ketika kita dalam waktu yang berbarengan membangga-banggakan negara kita sebagai negara paling ramah dan sopan santun di dunia? Hal tersebut terjadi karena netizen lokal kita sangat mudah terbakar emosi, terpancing berita bohong dan misinformasi, dan tidak atau belum mengerti bagaimana adab dalam berkomunikasi secara maya. Dapat kita sepakati, alasannya adalah, tidak lain dan tidak bukan, ya faktor pendidikan.

Menurut saya, hal yang paling menyakitkan adalah fakta terakhir. Fakta dimana kita dikejutkan oleh kenyataan betapa sudah berkembang dan bertumbuhnya pendidikan negara tetangga kita, Malaysia. Bukankah kita kaget, saat kita bernostalgia 40-50 tahun yang lalu, betapa banyaknya pelajar dari Malaysia yang datang jauh-jauh ke Indonesia untuk belajar? Dan berapa banyak guru yang kita kirimkan kesana untuk mengajar? Namun, bukankah kondisi sekarang berbalik 180 derajat, dimana banyak siswa kita yang pergi jauh ke negeri Jiran dikarenakan kualitas pendidikan mereka jauh lebih baik?

BACA JUGA:RAHASIA DI BALIK SENYUM

BACA JUGA:GEN Z DAN KESEHATAN MENTAL

Hal-hal tersebut terjadi karena beberapa hal. Pertama, kompetensi guru di Indonesia masih berada pada tingkat yang sangat rendah. Padahal, kualitas murid atau siswa yang belajar dari pendidikan di Indonesia nyatanya dipengaruhi oleh tenaga pengajar yang kompeten. Terlebih lagi, permasalahan yang tidak kalah penting dari tenaga pengajar di Indonesia adalah permasalahan mengenai guru kehormatan yang terkadang mendapat perhatian dan penghargaan yang kurang layak. Bukan hanya dari segi materi, melainkan juga apresiasi moral yang belakangan ini tak jarang menimbulkan permasalahan serius. Kedua, kaku dan membelenggunya kurikulum, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Mendengarkan narasi dari channel YouTube Bina Putera Institute yang berjudul “Ada Penyakit di Dunia Pendidikan. Kurikulum Berubah, Pendidikan Membaik?” dijelaskan oleh Zulfikri Anas. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa Kurikulum Merdeka tidak berfokus pada seberapa banyak kurikulum namun lebih berfokus pada siswa mampu memahami dan mengimplementasikan karakter dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut tentunya mengurangi, atau bahkan membunuh, kreativitas siswa. Di sisi lain, setiap orang memiliki talenta dan minat yang berbeda-beda, sehingga tidak adil jika semuanya harus dikalahkan rata dengan sistem yang sama.

Memang, jika harus ditelisik lebih dalam lagi, permasalahan yang sangat kompleks ini membutuhkan solusi yang sangat kompleks pula. Sehingga, saya sebagai penulis merasa bahwa memberi informasi terkait fakta lapangan tentang pendidikan sudah cukup. Saya berharap, kita semua dapat memahami kondisi pendidikan di negeri tercinta kita ini. Sehingga kita dapat lebih berintrospeksi diri sembari melakukan yang lebih baik untuk pendidikan kita, khususnya kepada anak kita yang masih mengenyam pendidikan formal, ataupun kita yang sedang melakukan studi lanjut.

Kategori :

Terkait

Selasa 11-02-2025,20:01 WIB

QUO VADIS PENDIDIKAN INDONESIA?