"Namun, di tengah kondisi sulit saat ini semestinya PGAS dapat lebih transparan dalam meneruskan beban biaya penggunaan LNG kepada pelanggan industrinya," ungkap Yusri.
Sayangnya, kata Yusri, mendadak saja PGAS memberlakukan penerapan kuota atas konsumsi gas bumi dan sekaligus memaksakan pelanggan industri untuk menggunakan LNG dengan porsi yang sudah ditentukan oleh PGAS tanpa menghitung berapa realisasi jumlah LNG yang disalurkan melalui jaringan pipa gas PGAS.
"Semestinya, volume LNG yang ditagihkan kepada pelanggan harusnya berkesesuaian dengan jumlah LNG yang masuk ke dalam jaringan pipa gas dan benar-benar digunakan untuk menambal kekurangan pasokan gas bumi bagi pelanggan industri," papar Yusri.
Konon kabarnya, kata Yusri, saat ini PGAS sudah secara otomatis menagih pelanggan industri dengan harga LNG maksimum 55 persen dari kontrak volume. Padahal sampai hari ini belum ada satu pun kargo LNG jatah PGAS yang masuk ke dalam jaringan distribusi milik PGAS. Timbul pertanyaan, kok bisa-bisanya sudah langsung menagih sampai maksimum 55 persen kontrak volume pelanggan industri JBB dengan harga LNG?.
"Oleh sebab itu, untuk menghindari kerugian konsumen industri jadi ‘boncos’ dan menjaga nama baik Pertamina serta komitmen Pemerintah menetapkan harga gas USD 6 per MMBTU bagi 7 industri, CERI berharap Kementerian ESDM, Kementerian BUMN dan Pertamina Holding membentuk tim investigasi untuk menelisik temuan CERI ini apakah benar?," pungkas Yusri.(*)