Pengamat yang juga pakar komunikasi tersebut melanjutkan, meski tanpa ambang batas, tidak otomatis Pemilu 2029 bakal diikuti oleh pasangan capres sebanyak jumlah partai peserta pemilu. Contohnya saat ini ada 18 partai dan berpotensi bertambah menjadi 20 hingga 25 peserta pemilu, bukan berarti akan ada 25 pasangan capres.
"Bagi parpol menyiapkan sosok figur terbaik bukan hal mudah. Pertimbangannya sangat kompleks mulai dari etikabilitas, kapasitas, popularitas dan elektabilitas, hingga saldo kas, sehingga rasionalitas dan primordialitas maupun pragmatisme partai akan diuji untuk berkoalisi atau teguh mencalonkan sendiri," ungkap Iqbal.
BACA JUGA:Ketua MK Lantik 735 Anggota Gugus Tugas Sengketa Pilkada 2024
BACA JUGA:Komisi III DPR Lanjutkan RUU MK Pada Periode Berikutnya
Menurutnya putusan MK tersebut secara komunikasi politik sebenarnya merupakan konstruksi pesan yang kuat bersifat antisipatif atau mencegah berulangnya stagnasi kontestasi pemilu eksekutif dengan fakta sudah terjadi aksi borong rekomendasi partai, sampai ciptakan polarisasi akut di masyarakat.
"Putusan MK yang final dan mengikat itu bisa dianggap membuyarkan hasrat potensi abuse of power, dominasi kekuasaan terhadap proses pencalonan pilpres. Setiap partai akhirnya punya daya dan posisi tawar yang setara," ujarnya.
Putusan MK itu, kata Iqbal, memang baru sekadar menyegarkan kembali oksigen demokrasi pemilu, bukan seketika mengubah semua iklim demokrasi Indonesia.
"Sudah semestinya putusan MK itu menjadi cambuk keras yang melecut bangsa dan segenap elit politik, serta masyarakat sipil untuk terus makin mendewasakan demokrasi dan taat konstitusi." Pungkas dosen FISIP Unej tersebut.