Kata-kata kasar pada dasarnya merupakan hasil dari kesepakatan bersama. Jika kita sepakat bahwa kata "babi" bukanlah kata kasar, maka kata itu tidak akan dianggap kasar. Sebaliknya, jika kita menyepakati bahwa kata "anjay" adalah kata kasar, maka kata tersebut otomatis dianggap kasar.
Meskipun banyak hal yang saya paparkan tentang sisi positif umpatan, seperti meningkatkan keakraban dan sebagai respon alami manusia, perlu diingat bahwa kata-kata kasar memiliki dampak negatif yang signifikan.
Umpatan dapat menyinggung perasaan orang lain. Sudah banyak kasus yang dimulai dari candaan kecil, namun justru berkembang menjadi masalah besar. Selain itu, ada pendapat bahwa penggunaan kata-kata kasar secara berlebihan dapat mengganggu kinerja otak.
Sebetulnya, masih banyak fakta menarik terkait dengan umpatan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata-kata kasar berkorelasi dengan kejujuran seseorang. Namun, kali ini saya tidak akan membahasnya karena khawatir akan disalahartikan, seolah-olah saya mendukung penggunaan kata-kata kasar.
Kami juga tidak akan membahas secara mendalam soal fungsi gramatikal atau konteks umpatan, karena setiap bahasa memiliki fungsi dan setting yang berbeda-beda dalam mengumpat. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris, setidaknya ada 20 fungsi untuk kata-kata umpatan.
BACA JUGA:10 Cara Mengatasi Agar Anak Tidak Suka Berbohong
BACA JUGA:5 Kebiasaan yang Disukai Introvert Menurut Psikologi
Jika kalian sering menonton film barat seperti Peaky Blinders, kalian pasti pernah mendengar mereka menggunakan F-Word di tengah-tengah kalimat yang konteksnya terasa acak dan sulit diterapkan dalam bahasa Indonesia.
Dalam bahasa Indonesia sendiri, kita sering membuat variasi slang dari kata-kata kasar. Misalnya, dari kata "anjing" menjadi "anjai," "anjrit," "anjoy," atau "anjir." Bahkan, dari "anjir" bisa menjadi "jir" atau "wanjir," dan masih banyak lagi.
Berbicara tentang kemampuan verbal, rasanya menarik jika kita sedikit menyinggung status pendidikan dan literasi di Indonesia. Sudah banyak yang membahas skor PISA, kemampuan membaca, serta rata-rata lama sekolah di Indonesia, yang seringkali berada di posisi bawah di ASEAN.
Ironisnya, hal ini berbanding terbalik dengan pengguna aktif smartphone di Indonesia, yang justru menempati peringkat ke-4 di dunia.
Sedikit cerita, ketika seseorang pernah mengajar di SD selama KKN, meskipun lokasinya di kota, banyak siswa kelas 3 dan 4 yang masih belum bisa membaca dan menulis dengan lancar. Saya tidak tahu siapa yang paling tepat untuk disalahkan—apakah menteri pendidikan, Kominfo, atau presiden—tapi yang jelas, memperbaiki keadaan ini adalah tanggung jawab kita bersama.
Sekali lagi, kami tidak membenarkan penggunaan kata-kata kasar dan berharap kita semua bisa bersikap bijaksana.