Hubungan Suka Mengumpat Kasar dengan Kecerdasan Seseorang

Rabu 16-10-2024,20:40 WIB
Reporter : Wanda Novi
Editor : Wanda Novi

RADAR JABAR - Mengapa orang suka mengumpat? Baik remaja, dewasa, orang Indonesia, maupun orang Amerika, semuanya memiliki kebiasaan mengumpat.

Penting untuk ditekankan bahwa kami tidak bermaksud mengatakan bahwa kata-kata kasar adalah hal yang benar dan normal. Sebaiknya, manusia, baik dewasa maupun anak-anak, memiliki tutur kata yang sopan dan santun.

Ada banyak alasan mengapa orang menggunakan kata-kata kasar, mulai dari ingin terlihat seperti "Bad Boys" hingga mengumpat sebagai respons alami. Mari kita bahas satu per satu. Salah satu alasan orang menggunakan kata-kata kasar adalah untuk terlihat asyik di tongkrongan, lingkaran pertemanan, atau lingkungan kerja.

Menurut Kim Tae Jong dalam The Korea Times, remaja umumnya menggunakan kata-kata kasar sebagai bentuk kedekatan di antara mereka. Secara tidak langsung, kata-kata kasar ini menyiratkan motif seperti "Saya sangat mengenalmu, sehingga saya bisa menggunakan kata-kata kasar kepadamu.

Kalau kepada orang lain, saya tidak pakai karena kami tidak sedekat itu." Niat tersembunyi untuk memposisikan diri seperti ini disebut cover prestige. Fungsi dari cover prestige adalah untuk disukai atau menegaskan posisi dalam suatu kelompok, dengan menggunakan bahasa yang hanya dipahami oleh orang-orang dalam lingkaran tersebut.

Selain kata-kata kasar, contoh lain dari cover prestige adalah gimik "gemoy-gemoyan" yang dilakukan oleh Prabowo. Orang dewasa atau lansia mungkin tidak memahami tujuan di balik gimik tersebut, tetapi tim Prabowo tahu bahwa remaja dungu akan menyukainya.

Penelitian Kerpibadian Orang yang Suka Mengumpat

Namun, apakah benar menggunakan kata-kata kasar membuat kita lebih disukai? Jika kita melihat streamer, politisi, atau pebisnis seperti Elon Musk, mereka sering kali menggunakan kata-kata kasar di hadapan publik.

BACA JUGA:8 Alasan Orang Cerdas Cenderung Suka Menyendiri

BACA JUGA:3 Alasan Mengapa Orang Jepang Suka Menyendiri Mengikuti Tren 'Solo Katsu'

Menurut Dr. Robbie Love, penggunaan umpatan sepenuhnya bergantung pada konteks, yakni apa yang dilakukan dengan kata-kata tersebut dan apa tujuannya. Persepsi tentang seberapa dapat diterimanya kata-kata kasar ditentukan oleh bagaimana dan dalam situasi apa kata-kata itu digunakan.

Namun, harus diakui bahwa kadang-kadang kata-kata kasar menjadi bagian dari hiburan, dan beberapa orang memiliki selera humor yang terkait dengan umpatan. Inilah mengapa ketika seorang streamer game kalah dan marah sambil mengumpat, klip tersebut sering kali diulang-ulang dan dianggap lucu.

Seorang antropolog bernama Ashley Montagu berpendapat bahwa psikologi orang dewasa yang menggunakan kata-kata kasar mirip dengan bayi yang menangis. Ketergantungan pada umpatan dianggap sebagai tanda kurangnya kemampuan linguistik dan emosional yang lebih matang.

Dalam situasi tertentu, seseorang mungkin tidak tahu kata yang tepat untuk diucapkan saat merasa sakit, terkejut, sedih, marah, atau gembira, sehingga mereka secara spontan mengeluarkan kata-kata kasar, mirip dengan bayi yang menangis karena belum mampu mengungkapkan emosinya dengan kata-kata.

Apakah harus melampiaskan emosi dengan kata-kata kasar? Tidak selalu. Tidak semua orang yang marah langsung mengumpat; ada yang meluapkan emosinya dengan memukul benda, menangis, berteriak, atau beristighfar.

Menariknya, meski Ashley Montagu menyatakan bahwa penggunaan kata-kata kasar berkaitan dengan kurangnya kemampuan verbal, penelitian lain justru menemukan korelasi antara kemampuan mengumpat dengan kecerdasan verbal seseorang.

Kategori :