Kami akan menjelaskan tentang tiga tingkatan orang malas berdasarkan egonya.
1. Malas melakukan sesuatu tetapi berusaha melawannya
Orang ini akhirnya berhasil melakukan hal yang ingin dia lakukan. Misalnya, Anda ingin membaca buku tetapi merasa malas, namun kemudian Anda melawan rasa malas tersebut hingga akhirnya berhasil membaca buku.
2. Malas melakukan sesuatu dan menyerah pada rasa malas
Orang ini cenderung mengikuti rasa malasnya sehingga akhirnya tidak melakukan hal yang awalnya ingin dia lakukan.
3. Berusaha mencari alasan untuk kemalasannya
Tipe ketiga ini yang paling parah, yaitu seseorang yang malas tetapi memiliki alasan untuk menerima atau mendukung kemalasannya. Jika pada tipe pertama dan kedua orang masih sadar bahwa mereka malas, pada tipe ketiga, karena adanya alasan yang membenarkan rasa malas, orang ini merasa aman dan tidak merasa perlu memaksakan diri. Alasan-alasan yang digunakan untuk membenarkan kemalasan ini banyak ditemui dalam masyarakat kita.
Alasan Umum Orang jadi Pemalas
Kami akan membahas tiga alasan kemalasan yang paling sering kita temui khususnya di lingkungan masyarakat Indonesia.
1. Harta tidak dibawa mati
Saya memahami bahwa maksud dari orang-orang yang mengatakan "harta tidak dibawa mati" adalah karena mereka menganggap mengumpulkan harta itu sia-sia. Mereka berpikir, untuk apa mengumpulkan harta jika pada akhirnya mati dan tidak bisa membawanya.
Bahkan, Elon Musk yang memiliki kekayaan triliunan, kuburannya tidak akan muat untuk menyimpan hartanya. Sekilas, pemikiran ini terlihat masuk akal dan dapat mengurangi motivasi untuk mengumpulkan harta karena dianggap sia-sia.
Padahal, semua agama di dunia ini sepakat bahwa berbuat baik akan mendapatkan ganjaran yang besar. Salah satu perbuatan baik yang paling dihargai adalah membantu orang lain, dan bentuk bantuan yang paling bermanfaat biasanya dalam bentuk uang atau harta.
BACA JUGA:Mengapa Jangan Keluar dari Zona Nyaman? Ini Perbedaannya dengan Zona Malas
BACA JUGA:7 Prinsip Orang Jepang Agar Tidak Menjadi Pemalas
Dengan uang, Anda bisa berdonasi, membangun panti asuhan, dan membantu banyak orang. Jika kita memandang harta sebagai sarana untuk melakukan hal tersebut, apakah itu sia-sia? Tentu tidak, bukan?
2. Tidak mencintai dunia
Dulu, saya pernah terjebak pada pemikiran bahwa karena "harta tidak dibawa mati", saya tidak sampai memikirkan manfaat dari harta itu. Ditambah lagi, saya sering beralasan bahwa saya "tidak mencintai dunia".
Misalnya, ketika melihat teman memiliki baju bagus yang tidak mampu saya beli, saya suka menghibur diri dengan mengatakan bahwa saya tidak cinta dunia. Pola pikir ini memang mulia jika diterapkan dengan jujur.
Bayangkan saja, jika pejabat-pejabat di suatu negara tidak mencintai dunia, negara tersebut pasti akan makmur. Namun, jika pola pikir ini diterapkan secara berlebihan hingga membuat seseorang malas bekerja, padahal masih memiliki tanggungan, sudah pasti motivasi dan kualitas kerjanya akan menurun.
Padahal, Anda bisa saja tidak mencintai dunia tetapi tetap mengumpulkan harta. Jika Anda kaya, tidak harus membeli mobil sport atau hidup berfoya-foya, namun harta itu bisa disumbangkan kepada banyak orang.
Misalnya, jika kekayaan Anda setara dengan Elon Musk, bahkan sepertiga dari harta tersebut mungkin sudah bisa membantu orang kelaparan di seluruh Indonesia, dan pastinya Anda akan mendapatkan pahala yang besar dan bersifat jariah.