BACA JUGA:8 Tips Mengelola Keuangan dengan Bijak untuk Generasi Sandwich
BACA JUGA:Elon Musk Bagikan Kunci Raih Kesuksesan untuk Generasi Muda Indonesia
Lalu, bagaimana cara berpikir yang benar? Menurut kami, hal yang paling sehat untuk dilakukan, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan dalam mewujudkan passion, adalah bekerja apapun dulu untuk memenuhi kebutuhan dasar. Setelah itu, passion dapat didukung secara bertahap menggunakan uang yang diperoleh dari pekerjaan tersebut.
Inti dari masalah passion ini adalah ketika seseorang memaksakan diri untuk hidup dari passion-nya dan menolak peluang mencari uang dari sumber lain hanya karena itu bukan passion-nya. Akibatnya, Gen Z yang memiliki pola pikir seperti ini hanya hidup dalam bayangan ekspektasinya sendiri, tanpa melihat realitas yang ada.
4. Standar Work Life Balance
Data menunjukkan bahwa Gen Z dikenal memiliki pandangan tersendiri terhadap pekerjaan, yang sering disebut sebagai "work-life balance."
Konsep keseimbangan hidup ini pada dasarnya baik, namun mengapa cara berpikir ini justru dapat membuat Gen Z kesulitan dalam mencari pekerjaan atau mendapatkan penghasilan di masa depan? Apakah hanya Gen Z yang memiliki pandangan seperti ini terhadap pekerjaan?
Generasi sebelum Gen Z, seperti Baby Boomers dan Milenial, memiliki pandangan yang berbeda mengenai pekerjaan. Mereka mengusung prinsip hustle culture, di mana bekerja dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa dilakukan setengah-setengah atau bahkan dianggap sebagai kewajiban. Bagi mereka, bekerja harus dilakukan dengan keras dan penuh dedikasi.
Hal ini berbeda dengan Gen Z, yang cenderung terlalu mengutamakan work-life balance. Ada data yang menunjukkan bahwa Gen Z dengan cara berpikir seperti ini memiliki kualitas kerja yang lebih rendah dibandingkan generasi sebelumnya.
BACA JUGA:IKN Disebut Akan Jadi Kota Masa Depan Bagi Gen Z Dan Milenial
BACA JUGA:Gen Z Wajib Tahu! Paradoks Kegagalan Karena Menelan Terlalu Banyak Informasi
Maka, tidak mengherankan jika Gen Z sering dianggap sebagai generasi dengan mental yang lebih lemah dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih mengutamakan keseimbangan atau kenyamanan dalam bekerja, padahal kenyataannya, tidak ada pekerjaan yang sesuai dengan ekspektasi mereka tanpa menguras banyak tenaga.
Inilah yang membuat Gen Z kesulitan mendapatkan pekerjaan, karena ekspektasi mereka terhadap pekerjaan sering kali tidak sesuai dengan realitas. Kami pernah berpikir, mengapa Gen Z memiliki ekspektasi bekerja seperti ini? Apakah karena terlalu dimanjakan oleh teknologi, atau ada faktor lain?
Sebenarnya, Gen Z memiliki peluang yang sangat besar, bahkan lebih besar dari generasi sebelumnya, untuk menjadi lebih kaya jika mereka bersedia berbenah. Menurut kami, perubahan harus dimulai dari cara pandang terhadap pendidikan.
Memang benar bahwa pendidikan di Indonesia masih belum merata dan berkualitas, namun kita juga tidak bisa mengabaikan bahwa banyak lowongan kerja di Indonesia yang masih mensyaratkan ijazah sekolah.
Kita, khususnya Gen Z, perlu memiliki keterampilan yang relevan dengan zaman sekarang untuk memperbesar peluang mendapatkan pekerjaan yang layak. Internet dan teknologi telah memfasilitasi banyak hal bagi Gen Z, tinggal bagaimana kesadaran diri untuk mulai mengubah cara berpikir yang terlalu dimanjakan oleh kemudahan teknologi, seperti pola pikir instan dan hanya ingin bekerja sesuai passion.