4 Kesalahan Pola Pikir Gen Z yang Buat Banyak Orang Tersesat Berpikir

Sabtu 31-08-2024,08:14 WIB
Reporter : Wanda Novi
Editor : Wanda Novi

Data dari DataBox pada tahun 2022 menunjukkan bahwa jumlah pengangguran lulusan universitas mencapai 673.000 orang, sedangkan pengangguran terbanyak berasal dari lulusan SMA, yaitu 2,48 juta orang.

Jika seseorang memiliki privilege atau orang tua yang kaya dan bisa memberi modal untuk membuka usaha, maka itu mungkin saja dilakukan. Namun, masalah muncul ketika Gen Z terpengaruh motivasi yang berlebihan dan mengambil risiko terlalu besar tanpa mempertimbangkan realita.

Mereka mungkin memberanikan diri membuka usaha dengan modal seadanya dari orang tua dan berhenti sekolah karena dianggap tidak penting. Jika usaha tersebut gagal, modal hilang, dan mencari pekerjaan pun menjadi sulit karena banyak lowongan yang masih mempertimbangkan pendidikan terakhir.

Akhirnya, mereka tidak mendapatkan keduanya—gagal menjadi bos muda dan sulit mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak karena tidak memiliki ijazah. Masa depan yang diharapkan sukses pun gagal akibat kesalahan berpikir mengenai sekolah yang dianggap scam dan tidak punya andil dalam masa depan.

Kami juga menemukan fakta yang mengejutkan dan menyadarkan, bahwa Gen Z adalah generasi yang paling sulit diajak bekerja sama.

Data menunjukkan bahwa 74% manajer dan pimpinan perusahaan menyatakan Gen Z sebagai generasi yang paling sulit diajak bekerja sama, dengan 40% di antaranya menyebutkan salah satu penyebabnya adalah karena mereka mudah bosan. Mengapa Gen Z lebih mudah bosan dibandingkan dengan generasi sebelumnya?

Salah satu penyebab utamanya adalah kesalahan berpikir kedua, yaitu "otak instan." Gen Z cenderung memiliki ekspektasi bahwa segala sesuatu harus cepat dan efisien, lebih memilih hidup tanpa tekanan daripada memiliki pekerjaan yang mereka anggap menambah beban hidup.

Intinya, mereka tidak ingin repot. Pola pikir ini membuat mereka lebih cepat bosan karena selalu berharap hasil yang instan.

Namun, sebelum menyalahkan Gen Z sepenuhnya, sebenarnya ada faktor eksternal yang memengaruhi cara berpikir mereka ini. Pola pikir "otak instan" ini tidak muncul begitu saja, melainkan karena Gen Z tumbuh di era yang serba instan atau serba dimanjakan oleh teknologi.

Dibandingkan dengan generasi sebelumnya, yang harus menghadapi berbagai kesulitan, Gen Z hidup dalam kenyamanan. Sebagai contoh, generasi Baby Boomers, untuk mengirim pesan saja, harus menulis surat, menempelkan prangko, dan mengirimkannya melalui kantor pos, dengan waktu pengiriman yang bisa memakan hari. Dari sini, kita bisa memahami bahwa mereka terbiasa melakukan hal-hal yang membutuhkan usaha lebih.

Sebaliknya, mengirim pesan di zaman sekarang sangat mudah dan instan. Maka, tidak mengherankan jika Gen Z dikenal memiliki mental yang lebih lemah atau cenderung menginginkan segalanya serba cepat. Hal ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap masa depan mereka, terutama dalam hal mencari uang.

Dalam realitas dunia kerja, apalagi di zaman sekarang, tidak ada yang benar-benar mudah. Semuanya membutuhkan kesabaran dan pola pikir yang kuat agar tidak mudah menyerah. Jika pola pikir instan ini dibiarkan, Gen Z akan mudah tereliminasi atau kesulitan mendapatkan pekerjaan.

3. Ilusi Passion

Pola pikir yang terbentuk akibat kemanjaan teknologi pada Gen Z tidak hanya membuat mereka memiliki mental instan atau pola pikir yang serba cepat, tetapi juga menyebabkan kesalahan berpikir lainnya, yaitu "ilusi passion." Ilusi passion adalah salah satu hal yang bisa membuat masa depan Gen Z lebih sulit dalam mencari uang. Ilusi ini muncul ketika mereka hanya ingin sukses dengan cara mengejar passion mereka sendiri.

Sebagai contoh, ada seseorang yang passion-nya di bidang fashion dan ingin sekali memiliki merek pakaian sendiri serta mendapatkan penghasilan dari sana. Mungkin terdengar menarik dan ideal, bekerja sesuai dengan keinginan sendiri tanpa merasa terpaksa. Namun, di mana letak kesalahannya?

Kesalahan berpikir ini terjadi ketika seseorang lebih mengutamakan passion daripada realitas yang ada. Misalnya, seseorang ingin membangun merek pakaian sendiri, tetapi belum memiliki modal yang mencukupi atau memaksakan diri dengan modal seadanya.

Lebih parah lagi, ketika seseorang hanya ingin bekerja jika pekerjaan tersebut sesuai dengan passion-nya, ia cenderung menutup peluang lain yang mungkin lebih menjanjikan hanya karena itu bukan passion-nya, padahal passion tersebut belum bisa dijadikan sumber penghasilan yang stabil.

Kategori :