RADAR JABAR - Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyatakan bahwa bukti komunikasi elektronik sangat penting dalam mengungkap kebenaran kasus kematian Vina dan Eky di Cirebon, Jawa Barat pada tahun 2016.
Ia berpendapat bahwa bukti ini bisa memberikan gambaran yang jelas tentang keterlibatan para terpidana, termasuk Saka Tatal dalam kejadian tersebut.
"Kita membutuhkan bukti komunikasi elektronik yang rinci, termasuk siapa yang berkomunikasi dengan siapa, mengenai apa, dan pada waktu kapan. Ini akan membantu kita memahami apakah para pelaku merencanakan pembunuhan atau tidak," ujarnya di Pengadilan Negeri (PN) Cirebon, Rabu.
Reza hadir sebagai saksi ahli dalam sidang lanjutan Peninjauan Kembali (PK) kasus pembunuhan Eky dan Vina yang diajukan oleh Saka Tatal di PN Cirebon.
Ia menyatakan bahwa jika kasus ini benar merupakan pembunuhan berencana, pasti ada komunikasi antar pelaku, baik melalui telepon maupun sarana komunikasi lainnya.
BACA JUGA: Sidang PK Kasus Vina Berlanjut, Liga Akbar Memutuskan untuk Mencabut Kesaksiannya
Selain itu, Reza menekankan pentingnya bukti elektronik dari para korban untuk menangkap tanda-tanda kegelisahan mereka saat kejadian, seperti rasa takut, cemas, panik, atau upaya mencari bantuan.
Ia juga sangat menyayangkan tidak dihadirkannya bukti elektronik tersebut dalam persidangan yang mengadili Saka Tatal dan tujuh terpidana lainnya pada 2016 dan 2017.
"Saya merasa bukti elektronik itu sudah ada, karena Polda Jabar pasti melakukan ekstraksi terhadap ponsel seluruh pihak terkait pada malam (kejadian),” katanya.
Keberadaan bukti tersebut, menurutnya, sangat penting untuk menentukan apakah benar terjadi pembunuhan berencana dan pemerkosaan atau tidak.
Reza juga menjelaskan bahwa penting untuk mengetahui profil psikologis kedua korban, guna menentukan apakah keberadaan sperma pada tubuh Vina adalah hasil dari aktivitas seksual paksaan atau kesepakatan.
"Jika sperma itu dihasilkan dari aktivitas paksaan, maka jelas ada pemerkosaan. Namun, jika dari aktivitas yang mau sama mau, maka itu bukan pemerkosaan dan bukan pidana,” ungkapnya.
Ia menekankan bahwa proses persidangan, termasuk upaya Peninjauan Kembali (PK) dari pihak pemohon, harus didasarkan pada pembuktian yang ilmiah, bukan sekadar keterangan.