Pada masa pendudukan Jepang, nama Tanjung Sarang Djan atau Sarang Djanat kembali berubah nama menjadi Tanjung Lalak, seperti yang terlihat dalam peta buatan tahun 1942. Nama ini tetap dipertahankan hingga saat ini.
Tertelan Perubahan Nama
Secara sederhana, alasan Saranjana tidak lagi tercantum dalam peta modern adalah karena mengalami perubahan nama. Terdapat banyak hipotesis mengenai asal-usul Saranjana dalam publikasi "Miths in Legend of Halimun Island Kingdom in Kotabaru Regency” oleh Norma Sunah pada tahun 2017.
Salah satunya adalah anggapan bahwa nama Saranjana berasal dari nama tokoh dalam legenda Kerajaan Pulau Halimun yang bernama Samburan Jana. Samburan Jana adalah putra kedua dari Raja Paku Rindang yang memiliki sifat pendiam, tidak suka bergaul, dan tertutup. Evolusi pelafalan dari Samburan Jana menjadi Saran Jannah dalam lidah orang-orang lokal menjadi asal mula Saranjana.
Sumber lain mengindikasikan bahwa nama Saranjana berasal dari bahasa Mandar yang berarti "Sarang Elang", dengan "saran" yang berarti sarang dan "Jana" yang berarti elang. Hipotesis ini masuk akal karena wilayah bukit Saranjana berdekatan dengan Desa Oka Oka yang mayoritas dihuni oleh nelayan Mandar dan merupakan habitat alami burung elang.
Dalam penelitian sejarah Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur mengajukan hipotesis bahwa Saranjana sebenarnya merupakan nama wilayah kekuasaan suku Dayak Samihim di Pulau Laut. Kerajaan ini diyakini muncul sebelum abad ke-17 Masehi, dipimpin oleh kepala suku pertama, Samburan Jana. Namanya kemudian berubah menjadi Saranjana dan menjadi nama kerajaan serta wilayah tersebut.
Selama ratusan tahun, wilayah ini diduduki oleh suku Dayak Samihim. Namun, kelompok ini akhirnya meninggalkan wilayah itu setelah perang melawan kekuatan asing yang menyerang dan merusak wilayah mereka.
Menurut catatan dari Go Hyun Fong, pada tahun 1660, Pulau Laut termasuk wilayah Saranjana menjadi bagian dari tanah milik Pangeran Purabaya dari Kesultanan Banjar.
Peningkatan kekuasaan Raden Bagus atau Sultan Amarullah Bagus Kusuma sebagai Sultan Banjar dari tahun 1660 hingga 1700 menyebabkan konflik dan ketidakpuasan di antara pewaris tahta lainnya. Beberapa dari mereka memberontak, termasuk Sultan di Pati Anom 2 atau Raden Kusumaya.
BACA JUGA:Situs Gunung Padang: Sejarah Dibalik Peradaban Manusia Terbesar di Dunia yang Masih Menjadi Misteri!
Sultan Dipati Anom 2 berhasil merebut tahta namun kemudian diserang dan tewas oleh pasukan Amarullah pada tahun 1679. Pangeran Purabaya, sebagai langkah damai, diberi wilayah di Pulau Laut.
Di sana, ia membangun kekuatan bersama warga pedalaman dan menyerang Kesultanan Banjar untuk menggulingkan kekuasaan Sultan Amarullah Bagus Kusuma. Setelah serangan balik dari Kesultanan Banjar yang didukung oleh sekutunya, Pangeran Purabaya dan anaknya Gusti Bungsu akhirnya tewas pada akhir tahun 1717.
Setelah peristiwa tersebut, mitos tentang negeri impian berkembang, menjadi kuat dalam ingatan pengikut dan penduduk lokal. Mitos ini berkaitan dengan gagasan Pangeran Purabaya tentang membangun kekuasaan yang lebih besar dari Kesultanan Banjar di Pulau Laut. Mitos ini kemungkinan menjadi asal mula cerita tentang kota maju bernama Saranjana, yang masih diceritakan turun-temurun oleh penduduk lokal.
Saat ini, Saranjana hanya merupakan nama bukit kecil di Desa Oka Oka, Kecamatan Pulau Laut Kepulauan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Namun, citra mistis yang terkait dengan Saranjana lebih kuat daripada sekadar sebuah bukit. Sebagai kota gaib, Saranjana lebih diterima dan dipercayai oleh masyarakat yang masih merasakan kedekatan dengan unsur mistis dan klenik, ketimbang hanya sebagai nama tanjung dengan narasi sejarah dan perlawanan seorang pangeran Banjar.