RADAR JABAR - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2021 menyatakan bahwa satu dari 20 orang dewasa di seluruh dunia diperkirakan mengalami depresi. Terdapat pandangan bahwa seseorang yang tidak memiliki kedekatan dengan Tuhan cenderung lebih rentan terhadap depresi. Kami akan menyampaikan riset mengenai hubungan agama dan kesehatan mental yang selalu dikaitkan dengan faktor dan penyembuh depresi.
Hasil penelitian yang dilakukan selama kurang lebih 10 tahun di Universitas Columbia menunjukkan bahwa orang yang menganggap agama sebagai hal yang penting cenderung mengalami tingkat depresi yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak menganggap agama memiliki makna yang signifikan.
Fenomena ini dapat dimengerti, sebagaimana dijelaskan oleh Rachael Rettner dalam artikelnya pada tahun 2015 berjudul “Get Help How Religion is Good and Bad for Mental Health". Orang yang memiliki keyakinan agama memiliki pegangan dalam bentuk Tuhan sebagai tempat berlindung terakhir.
Keyakinan ini dapat membantu mereka bertahan dalam situasi sulit, dengan keyakinan bahwa Tuhan senantiasa mendampingi dan melindungi. Keyakinan akan adanya pahala atas cobaan yang dihadapi dalam hidup ini, serta keyakinan akan adanya keadilan Tuhan di kehidupan setelah dunia ini, juga menjadi faktor-faktor yang menguatkan.
BACA JUGA:5 Penyebab dan Ciri-Ciri Orang Gangguan Mental di Era Digital, Jangan Remehkan Gejalanya!
Selain itu, orang beragama juga memiliki gambaran-gambaran lain dalam pikirannya yang terkait dengan kekuatan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan. Baca artikel ini sampai akhir agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Namun, dalam artikel berjudul " Religius and Spiritual Factor in The Present" pada tahun 2012, tertulis bahwa tidak sedikit individu beragama yang justru mengalami rasa bersalah. Hal ini dikarenakan mereka merasa sebagai pendosa karena jarang beribadah, dan mereka merasa akan mendapatkan hukuman dari Tuhan.
Artinya, hubungan antara agama dan depresi memiliki dua sisi seperti mata uang yang memiliki dua sisi yang berbeda. Agama dapat menjadi benteng yang melindungi individu dari depresi, namun juga dapat menjadi sumber konflik dan rasa bersalah tergantung pada interpretasi dan pengalaman setiap orang.
Jika seseorang meyakini bahwa agama melibatkan keyakinan pada Tuhan Yang Maha Baik, tetapi dapat memiliki dampak negatif, ini berarti agama dapat memicu depresi atau memperburuk kondisi depresinya.
BACA JUGA:Mengenal Mental Illness: Memahami Gangguan Kesehatan Mental yang Mempengaruhi Kehidupan Kita
Jika agama dianggap sebagai alat di bawah Tuhan Yang Maha Jahat, maka fokusnya adalah bagaimana kita menjalani agama.
Apakah Agama Bisa Sebabkan Depresi?
Penelitian selama 10 tahun di Universitas Columbia juga mengungkapkan fakta bahwa frekuensi beribadah tidak memengaruhi depresi. Ini berarti bahwa beribadah sebagai rutinitas atau bahkan sebagai beban tidak akan berdampak, terutama dari segi psikologis dan spiritual.
Memang, dari segi hukum atau fiqih, ibadah harus dijalankan sebagai kewajiban kita sebagai hamba terhadap Tuhan. Namun, dari perspektif spiritual, ibadah tidak memerlukan hal-hal tertentu, seperti yang diungkapkan oleh Jalaluddin Rumi.
Ibadah yang dijalani sebagai beban atau kewajiban akan dirasakan berat oleh pelakunya, sedangkan ibadah yang dijalani dengan penuh cinta akan membawa kegembiraan dan kesenangan dalam melakukannya. Oleh karena itu, seseorang akan merindukan ibadah karena kesadaran penuh dan sebagai pilihan yang berdaulat. Sebagai hasilnya, manusia dalam hidup ini akan menjalani ibadah dengan kesenangan dan sebagai bentuk ungkapan syukur atas nikmat yang diberikan oleh Tuhan.