BOGOR, RadarJabar - Rektor IPB University Prof Arif Satria menyampaikan betapa penting untuk meningkatkan resiliensi sistem pangan di antaranya pentingnya regenerasi dan penguatan kelembagaan petani.
Dia menilai, kualitas pelaku-pelaku masa depan akan berpengaruh pada Gross Domestic Product (GDP) per kapita. Hasil uji korelasi, kata Arif, menyatakan bahwa Global Talent Competitive Index berkorelasi positif terhadap GDP per kapita, semakin tinggi skor dari talent yang ada, maka bisa meningkatkan GDP per kapita sebuah negara.
Oleh karena itu, sambung dia, IPB University mencanangkan berbagai program sebagai ikhtiar untuk mendorong lahirnya petani-petani baru.
Salah satunya, One Village One CEO (OVOC) yang tahun depan akan tersebar di 300 desa. Utamanya untuk melahirkan sosok lulusan IPB University yang memiliki karakter sociopreneur dan technopreneur.
Arif memaparkan, sociopreneur adalah sosok yang mampu memanfaatkan berbagai inovasi untuk keperluan social enterprise.
Pada akhir Agustus 2022, IPB University juga telah mengembangkan OVOC di Riau dengan lebih dari 50 mahasiswa yang terlibat untuk mendampingi para petani, sebagian produk OVOC juga telah diekspor ke-11 negara.
“Ini adalah sebuah prestasi para sociopreneur IPB University yang mampu mendampingi para petani sehingga mereka bisa meningkatkan produktivitasnya dan menembus pasar ekspor,” ungkapnya pada Kamis, 1 September 2022.
Menurutnya, langkah-langkah yang dilakukan itu merupakan variasi ikhtiar IPB University secara sistematis. Melalui program pembinaan kewirausahaan program, IPB University mampu memfasilitasi mahasiswa yang berminat menjadi entrepreneur.
“Angka mahasiswa yang berminat sangat besar sehingga tidak ada cara lain selain harus difasilitasi. Harus didesain suatu program yang sistematis agar bisa menyalurkan bakat-bakat dan minat dari para mahasiswa untuk menjadi pelaku di bidang pertanian,” paparnya.
Kemudian, dia turut menyinggung arah kebijakan penguatan pangan lokal. Impor gandum dalam 10 tahun terakhir, sebutnya meningkat secara eksponensial.
Hal itu menggambarkan bahwa konsumsi gandum kian meningkat, artinya, Indonesia harus mulai fokus substitusi gandum berbasis bahan baku lokal.
Yakni dengan mengambil kebijakan rasio kandungan pangan lokal untuk setiap impor gandum.
“Agar ada afirmasi kepada para petani yang memproduksi produk substitusi impor atau diversifikasi pangan," terangnya.
Dia menimbang, perlu adanya kebijakan alokasi insentif fiskal dan nonfiskal (infrastruktur) untuk produksi dan industri pangan lokal nonberas dan terigu. Disusul dengan penguatan tata kelola sistem pangan negara kepulauan.
“Maka dari itu, saatnya untuk kita menyuarakan bahwa krisis global memang terjadi. Bahwa guncangan memang terjadi. Guncangan karena pandemi COVID dan krisis Rusia-Ukraina yang meningkatkan harga pangan, pupuk dan energi harus menjadi momentum. Ini bukanlah masalah ataupun tantangan, kita harus berkomitmen bahwa guncangan krisis pangan global harus menjadi momentum membangun resiliensi pangan lokal,” pungkasnya.***(YUD)