Pembatasan BBM Pertalite Berpotensi Picu Inflasi

Kamis 16-06-2022,17:48 WIB
Reporter : Erwin Mintara
Editor : Erwin Mintara

KENAIKAN harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi Pertamax pada April lalu, memicu migrasi besar-besaran konsumen Pertamax ke Pertalite subsidi. Oleh karena itu, pemerintah berencana membatasi pembelian untuk kendaraan mewah.

Selain itu, pemerintah pun bakal memberlakukan pembelian Pertalite menggunakan aplikasi My Pertamina. Tujuannya untuk mendata dan membatasi pembelian. Alhasil, data yang diverifikasi jadi acuan pertalite tepat sasaran.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022, pemerintah mengalokasikan total anggaran subsidi sebesar Rp206,9 triliun. Terbagi: subsidi energi Rp134 triliun, subsidi non/energi Rp72,9 triliun.

Sementara konsumsi Pertalite, berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, di tahun 2021 hampir mencapai 80% atau sebesar 23 juta kiloliter (KL) diantara BBM lainnya. Seperti: Pertamax, Pertamax Turbo dan Premium.

Saat ini, Pertalite menjadi BBM andalan masyarakat Indonesia. Terlebih dalam konsumsinya pun kian meningkat. Tercatat, dari tahun 2017 hingga 2021: 14,5 juta KL, 17,7 juta KL, 19,4 juta KL, 18,1 juta Kl dan 23 juta KL.

Disamping itu, pemerintah pun perlu mengantisipasi pembatasan pembelian Pertalite. Dikhawatiran mengganggu perekonomi maupun meningkatnya inflasi. Seperti saat kenaikan Pertamax. Mulai dari PPN yang menjadi 11 persen hingga perencanaan pajak karbon.   

Pakar ekonomi Universitas Pasundan (Unpas), Acuviarta Kartabi mengatakan, pembatasan pembelian bahan bakar minyak jenis Pertalite merupakan bagian dampak dari kenaikan Pertamax.

Menurutnya, pembatasan Pertalite pun mempunyai dampak terhadap inflasi. Pasalnya, saat ini sejumlah komoditas seperti: cabai merah, cabai rawit, bawang merah, serta bawang putih kian merangkak naik.

”Akan berdampak pada inflasi. Sebab, mungkin orang terpaksa mengkonsumsi Pertamax lalu dibebankan kepada harga produk yang mereka hasilkan,” kata Acuviarta kepada Jabar Ekspres, Kamis (16/6).

”Ini memperlambat kondisi perekonomian. Karena secara otomatis berdampak pada kenaikan harga transportasi. Bahkan mungkin ada dampak pada komuditas lain,” imbuhnya.

Meski pun masyarakat tidak memaksakan untuk memakai Pertamax, kata dia, namun tetap muncul spekulasi untuk mengklaim ongkos naik.

"Meningkatnya aspek spekulasi yang perlu di waspadai. Ini saya kira perlu evaluasi lebih baik terkait perkembangan komuditas sebagai dampak pembatasan Pertalite," katanya.

Menurutnya, meskipun permintaan terhadap Pertamax ada siting. (penempatan/merah). Tapi, lanjut dia, tidak akan terlalu besar dari daya beli masyarakat yang masih rendah. Alhasil, berdampak terhadap perlambatan ekonomi jadinya.

"Ini salah satu faktor yang menekan kondisi perekonimin kenaikan komuditas ini. Sebab, dari sisi pendapatan saya kira tidak ada perubahan yang cukup sepadan dengan kenaikan itu," cetusnya.

Saat disinggung pemerintah bakal memberlakukan pembelian Pertalite menggunakan Hanphone, sementara tidak semua masyarakat mempunyai, dengan santai dia memberikan opsi. Menurutnya, pemerintah perlu menyiapkan alternatif untuk mempermudah transaksi.

"Saya kira perlu alternatif juga. Artinya dari sisi aplikasi lebih mudah dalam pengendalian. Mungkin. Biar bisa terpantau. Tentu harus disediakan juga sarana atau kemudahan transaksi di lokasi SPBU. Antisipasi masyarakat yang tidak mempunyai hanphone yang mudah beradaptasi dengan perubahan semacam ini.

Ia pun mengatakan, penerapan pembatasan pembelian Pertalite perlu diklasifikasikan. Baik konsumen pribadi maupun untuk berniaga yang mempunyai dampak terhadap ekonomi.

"Jika disama ratakan, bagaimana dengan kendaraan yang dipakai yang mempunyai dampak terhadap ekonomi? Tidak bisa itu. Jadi harus ada klasifikasi-klasifikasi dalam pembatasan pembelian pertalite ini," tutupnya

Kategori :