Seberapa Efektifkah Cancel Culture? Ternyata Sangat Toxic

Seberapa Efektifkah Cancel Culture? Ternyata Sangat Toxic

Dampak Cancel Culture-Ilustrasi/Unsplash-

RADAR JABAR - Bayangkan Anda adalah seorang artis publik atau influencer, tetapi akibat suatu perbuatan, Anda akhirnya diboikot. Semua kerja sama, pertemuan, dan kolaborasi Anda dengan berbagai merek dibatalkan karena kasus tersebut.

Inilah yang terjadi ketika seseorang mengalami "cancel culture" atau budaya pembatalan oleh masyarakat, termasuk oleh netizen. Fenomena ini sering kali disebabkan oleh aib atau sisi gelap seseorang yang terungkap atau bocor.

Cancel culture adalah bentuk ostrakisme modern di mana seseorang dikeluarkan dari lingkaran sosial, baik secara online di media sosial maupun di dunia nyata, atau bahkan kedua-duanya. Intinya, ini adalah tindakan memboikot atau mengasingkan seseorang atau ide.

Secara historis, fenomena ini tidak sepenuhnya baru. Pada era Romawi kuno, siapa pun yang melanggar moral dan aturan tertentu serta mendapatkan voting hukuman terbanyak dari masyarakatnya akan dijatuhi hukuman pengasingan selama lebih dari 10 tahun.

BACA JUGA:Mengapa Orang Bodoh Selalu Dipelihara di Indonesia? Ini 5 Alasannya

BACA JUGA:13 Perilaku Ini Bisa Membuatmu Terlihat Bodoh di Depan Orang Lain

Jika pelaku menolak, hukuman mati bisa diterapkan. Hukuman tersebut melibatkan pengasingan total, di mana orang tersebut tidak boleh berinteraksi atau mendapatkan bantuan dari siapa pun.

Di era modern, cancel culture mulai berkembang seiring dengan munculnya berbagai gerakan aktivis sosial dan penyintas pelecehan.

Besarnya Dampak Cancel Culture

Istilah "cancel culture" bahkan resmi ditambahkan ke dalam Urban Dictionary pada tahun 2018, dengan makna mengasingkan atau menolak sebuah gagasan atau individu. Sejak saat itu, cancel culture menjadi kebiasaan masyarakat, diperkuat oleh kekuatan internet.

Salah satu bentuk cancel culture adalah memviralkan kesalahan-kesalahan sepele. Biasanya, perekam video atau pihak yang memviralkan berharap mendapatkan dukungan untuk dirinya sendiri, sementara objek atau orang yang direkam akan mendapatkan bullying dari netizen.

Jika kita melihat contoh yang lebih besar, misalnya seorang influencer yang terlibat dalam kasus besar seperti selingkuh, penipuan, pembunuhan, atau korupsi, netizen dan pengikutnya seringkali akan ikut membully dan meng-cancel influencer tersebut.

Di sinilah seni cancel culture berperan. Alih-alih hanya membully di komentar, mereka juga dapat merusak citra influencer dengan cara yang lebih sistematis. Tujuannya adalah agar bisnis dan merek yang bekerja sama dengan influencer tersebut hancur atau dibatalkan.

Ini dilakukan dengan cara unfollow massal, unlike massal, dan menghentikan semua interaksi dengan influencer tersebut. Semua cara ini diterapkan agar influencer tersebut kehilangan pencapaiannya dan meredup.

Meskipun tindakan ini tampak sangat jahat, niat dasarnya adalah untuk memberikan hukuman. Jika Anda masih melihat cancel culture sebagai sesuatu yang positif, pertimbangkan bahwa di era internet yang serba cepat ini, cancel culture bisa menjadi tindakan yang merusak. Mari kita lihat sisi gelap dari cancel culture.

Sumber: