Bahlil Ajak Rakyat Bersiap Hadapi Kenaikan BBM, Pengamat: Pilihan Sulit yang Harus Ditempuh

Bahlil Ajak Rakyat Bersiap Hadapi Kenaikan BBM, Pengamat: Pilihan Sulit yang Harus Ditempuh

Illustrasi pengisian BBM di SPBU Ujung Berung. (Deni Armansyah/Jabar Ekspres)--

BANDUNG - Menteri Investasi, Bahlil Lahadalia mengajak rakyat bersiap untuk kenaikan BBM pada konferensi pers Perkembangan Pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Kementerian Investasi, Jakarta, Jumat (12/8).

Menurutnya, pemerintah memiliki keterbatasan fiskal untuk tetap memberikan subsidi besar di tengah harga minyak mentah dunia yang masih berada di angka rata-rata US$105 per barel saat ini.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Ekonomi dari Universitas Pasundan, Acuviarta Kartabi, mengakui bahwa ini adalah pilihan yang sulit untuk pemerintah. Meski begitu pilihan ini harus ditempuh. Pasalnya, besaran subsidi sudah terlalu besar untuk ditanggung APBN.

“Karena perbaikan struktural kita agak sulit ya. Jadi misalnya, bagaimana penyedian transportasi publik sebagai alternatif. Kemudian juga bagaimana konsumsi BBM itu bisa tepat sasaran. Hal ini juga akan sulit ya kalau tidak ada mekanismenya,” ujarnya kepada Jabar Ekspres belum lama ini.

Dia menambahkan, harga minyak dunia masih fluktuatif di level yang cukup tinggi. Yaitu jauh di atas asumsi APBN $63-73 per barel.  Meski kenaikan BBM terpaksa harus ditempuh, Acu berharap kenaikan tidak terlalu tinggi dan pasokan harus terjamin lebih baik. Penggunaan aplikasi MyPertamina juga harus dievaluasi.

“Bagaimana penggunaan aplikasi itu dievaluasi efektivitasnya. Artinya, kalau misalkan ada kelompok masyarakat yang punya kendaraan di atas 2000 CC dan sebagainya. Itu jangan sampai mengonsumsi lagi BBM bersubsidi,” paparnya.

“Pertamina itu hanya melaksanakan penugasan. Justru yang paling beratnya beban APBN. Nah, beban APBN ini kalau sudah sampai Rp 500 triliun, bisa kita bayangkan kalau subsidi itu sangat besar sekali. Dan itu tentu sangat menguras daripada belanja negara,” sambung Acu.

Sedangkan di sisi lainnya, kata dia, pemerintah juga harus mengevaluasi terkait program atau proyek yang tidak bersifat mendesak. Sehingga dalam jangka pendek, bisa memprioritaskan penanganan dampak kenaikan minyak dunia terhadap kenaikan harga BBM di dalam negeri.

“Yang menikmati subsidi itu kelompok yang katakanlah, dari sisi kendaraan di bawah 2000 cc. Saya kira harus dievaluasi tingkat efektivitas kebijakan-kebijakan yang sudah diambil. Kita kan belum pernah dengar hasil evaluasi MyPertamina itu,” imbuh Acu.

“Itu perlu dilihat. Problemnya menurut saya struktural, bagaimana Pertamina bisa meningkatkan efisiensinya. Kemudian juga tentu bagaimana kita bisa menyediakan transportasi publik dalam rangka mengurangi penggunaan kendaraan pribadi,” sambungnya.

Sebab, penduduk Indonesia terbilang sangat banyak sedangkan transportasi publik masih sangat terbatas. Hal ini membuat pemerintah harus memiliki skala prioritas.

“Trans Metro Bandung dilarang beroperasi karena dianggap mengganggu karena adanya persaingan penumpang, dengan para operator kendaraan yang lain. Misalnya dengan angkot. Jadi saya kira itu harus diselesaikan secara serius, bagaimana transportasi publik itu dioptimalkan,” kata Acu.

Tak hanya itu, konsumsi subsidi BBM yang meningkat disertai pola belanja anggaran pemerintah di luar subsidi BBM yang tidak banyak mengalami perubahan juga merupakan potensi kendala.

“Jangan-jangan pengeluaran belanja kementerian itu masih juga jor-joran (boros). Sehingga tidak ada skala prioritas,” jelas Acu.

Sumber: