Terdaftar DTKS Naik, Dinsos Ungkap Bukan Hanya Warga Miskin yang Terdata

Terdaftar DTKS Naik, Dinsos Ungkap Bukan Hanya Warga Miskin yang Terdata

Dok. Kepala Bidang Pengendalian, Data dan Evaluasi Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan (Dinsosnangkis) Kota Bandung, Susatyo Triwilopo.--

Radarjabar.disway.id, BANDUNG - Kepala Bidang Pengendalian, Data dan Evaluasi Dinas Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan (Dinsosnangkis) Kota Bandung, Susatyo Triwilopo, mengatakan di tahun ini terdapat kenaikan jumlah warga yang terdaftar dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS).

Berdasarkan data terakhir, Juli 2022, terdata sebanyak 902.846 orang yang terdaftar DTKS, atau meningkat 80.619 dari data sebelumnya, Desember 2021. DTKS, ujarnya, berisi masyarakat yang miskin, sangat miskin, hampir miskin, rentan miskin. Rentan miskin dan hampir miskin ini belum tentu miskin tapi memiki potensi kemiskinan, tapi belum tentu dia benar-benar miskin.

“DTKS memang bertambah dan penyebebnya bukan karena bertambahnya warga miskin saja, tapi masuknya seluruh anggota keluarga dalam DTKS, kalau dulu, kan, hanya satu atau dua anggota keluarga saja, kalau sekarang seluruhnya, supaya semua bisa berhak mendapatkan bantuan, khususnya bantuan kesehatan,” ujarnya saat ditemui Jabar Ekspres di Kantor Dinas Sosial Kota Bandung, Selasa (26/7).

Dia menegaskan bahwa kenaikan angka DTKS tidak berarti sejalan dengan data kemiskinan yang dirilis BPS. Dia juga menekankan, patokan indikator kemiskinan dalam survey BPS jelas berbeda dengan indikator Dinsos untuk DTKS.

“Jadi, jangan melihat kenaikan ini sebagai kenaikan angka kemiskinan, tapi semakin banyak orang yang terjamin bantuan sosialnya, termasuk bantuan kesehatan dan pendidikan. Karena syarat bantuan itu adalah terdaftar dalam DTKS,” tuturnya.

Untuk menjamin keterbaharuan data, kata Tyo, Dinsos terus melakukan pembaharuan melalui laporan para peserta DTKS. Meski begitu, dia mengakui adanya kesulitan untuk memilah antara peserta DTKS yang masih perlu menerima bantuan sosial (bansos) dengan mereka yang telah keluar dari garis kemiskinan.

“Kalau tidak ada laporan, ya kita tidak tahu. Dan mereka akan tetap dalam DTKS, bedanya sekarang dia hanya berhak mendapat non bansos, yang tadinya bansos, karena validasi data ini kan terbilang sulit juga, karena mereka masih ada dalam data DTKS,” paparnya.

“Memvalidasi data itu, kan sulit. Yang sudah dapat bantuan dan sekarang sudah mapan terus kita stop bantuannya jadi non bansos mereka tetap ada di dalam DTKS dengan asumsi apabila suatu saat dia jatuh kembali datanya enggak susah, enggak perlu diperbaiki lagi,” lanjutnya.

Saat disinggung terkait  anggaran untuk bantuan sosial, Tyo mengakui bahwa hingga kini Kota Bandung masih mengandalkan program dari pemerintah pusat untuk pengadaan bantuan sosial (bansos). Dia mengatakan, program-program bansos di Kota Bandung hampir seluruhnya berasal dari program pusat.

“Kita, Kota Bandung, enggak ada dananya. Hampir seluruhnya dari pusat mulai dari program bantuan sembako, BNPT, PKH juga dari pusat,” beber Tyo.

Dinsos, kata dia, masih kesulitan menyisihkan dana untuk pengadaan bansos mandiri, mengingat terbatasnya proporsi anggaran yang diterima Dinsos dari APBD Kota Bandung.

Menurutnya, jika dibandingkan dinas-dinas lain seperti Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan, yang telah dijamin mendapatkan proporsi dana yang cukup besar dari APBD, alokasi dana yang didapatkan Dinsos dapat dikatakan sangat terbatas.

“Berat, ya, karena kita aja OPD yang bisa dibilang proporsi anggarannya tidak banyak. Kalau (anggaran) sekarang mungkin habisnya hanya cukup untuk belanja rutin perkantoran, tidak sampai Rp50 juta,” tuturnya.

“Itu habis untuk tunjangan dan gaji saja, makanya bansos lebih banyak mengandalkan program pemerintah pusat karena bagaimana lagi, karena kondisi anggarannya seperti itu,” tandasnya.*** (Arv)

Sumber: Jabar Ekspres