Tuntutan Kejari Bale Bandung Dinilai Ringan, LBH PUI: Ini Bentuk Pembiaran Brutal Terhadap Kejahatan Seksual
Ketua Lembaga Bantuan Hukum Persatuan Umat Islam (LBH PUI) Pusat, Etza Imelda Putri bersama tim di Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung--Istimewa
RADAR JABAR - Kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan pimpinan pondok Pesantren Santri Sinatria Qurani, yang berlokasi di wilayah Desa Karamat Mulya, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung kembali mencuat.
Lembaga Bantuan Hukum Persatuan Umat Islam (LBH PUI), mengecam tuntutan ringan Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung, dalam kasus 6 anak santriwati yang menjadi korban pelecehan seksual oleh terduga pelaku berinisial RR (30).
Ketua LBH PUI Pusat, Etza Imelda Putri mengatakan, keprihatinan mendalam sekaligus kecaman keras atas tuntutan pidana, yang telah dibacakan di PN Bale Bandung pada 10 Desember 2025.
"Yang hanya menuntut 18 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar," katanya kepada Jabar Ekspres pada Jumat (12/12).
Tuntutan yang dikeluarkan itu, ujar Etza, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 4 bulan.
"Terhadap Perkara Nomor : 1045/Pid.Sus/2025/PN.Blb, terhadap terdakwa RR sebagaimana diatur dan diancam Pidana Pasal 81 ayat 3 jo Pasal 76 D Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016, tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016," ujarnya.
"Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak" tambah Etza.
Ketua LBH PUI menerangkan, tuntutan yang diberikan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bandung dinilai terlalu ringan, terhadap pelaku Kejahatan seksual dengan korban 6 orang anak.
"Dalam Pasal 81 ayat 3 tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan Pendidik ditambah 1/3 dari tuntutan," terang Etza.
"Pada ayat 5 Dalam hal tindak pidana, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 2O tahun," lanjutnya.
Etza juga menjelaskan, selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5). Pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
"Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik," jelasnya.
Tuntutan ini, ucap Etza, tidak hanya melukai rasa keadilan publik, namun juga berpotensi melemahkan upaya nasional dalam pemberantasan kejahatan terhadap anak.
Kasus kejahatan merupakan extraordinary crime, yang berdampak panjang terhadap kondisi fisik, psikis, sosial, dan masa depan korban.
"Negara melalui aparat penegak hukum memiliki kewajiban konstitusional dan moral untuk memberikan perlindungan maksimal," ucapnya.
Etza memaparkan, dalam urusan penegakan hukum dan perlindungan korban, menurutya Kajari Bale Bandung dapat dianggap seorang ibu.
"Kejari Bale Bandung yang harusnya lebih empati merasakan kepedihan serta luka kepada 6 anak dan orangtua korban. Bukan malah menghadirkan tuntutan yang meremehkan penderitaan korban," paparnya.
Etza menegaskan, pihaknya melakukan kecaman kepada Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung. Berikut 5 poin yang jadi sorotan LBH PUI.
1. Tuntutan ringan tidak mencerminkan rasa keadilan bagi korban maupun keluarga.
2. Jaksa Penuntut Umum wajib mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) sebagaimana diamanatkan UU Perlindungan Anak dan UU Peradilan Anak.
3. Tindak pidana kekerasan seksual harus dituntut secara proporsional, dengan memperhatikan unsur pemberatan karena korban adalah anak.
4. LBH PUI mendesak Kejaksaan Tinggi Jawa Barat untuk mengevaluasi kinerja Kajari Kabupaten Bandung, khususnya dalam penanganan perkara-perkara yang melibatkan anak sebagai korban.
5. LBH PUI membuka ruang pendampingan hukum gratis kepada keluarga korban maupun masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum dalam kasus serupa.
"Tidak boleh ada toleransi bagi pelaku Kejahatan seksual. Tuntutan ringan adalah bentuk pengabaian terhadap hak korban dan kegagalan negara menghadirkan keadilan," tegas Etza.
"Kami mendorong seluruh elemen masyarakat untuk terus mengawal kasus ini dan memastikan bahwa proses hukum berjalan transparan serta memberikan efek jera maksimal bagi pelaku," tutupnya.
Sumber: