Lebih jauh lagi, pemerintah desa berencana menggagas aturan tingkat desa—baik dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes) maupun sanksi sosial—untuk menindak tegas perilaku membuang sampah sembarangan. Pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk menghukum, tetapi untuk membangun kesadaran kolektif bahwa kebersihan lingkungan adalah bagian dari tata kehidupan bersama yang harus dijaga bersama-sama.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa Tegalsari memahami inti dari pengelolaan sampah yang berkelanjutan: perubahan perilaku, dukungan regulasi, dan konsistensi pendampingan. Dengan kombinasi tersebut, desa ini berpotensi menjadi model percontohan bagi wilayah lain di Purwakarta maupun daerah lain di Indonesia yang ingin mewujudkan sistem pengelolaan sampah yang mandiri, efektif, dan partisipatif.
BACA JUGA:Motif 2 Pria Paruh Baya yang Lakukan Perbuatan Bejat Diungkap oleh Polisi
BACA JUGA:2 Pria Paruh Baya Ditetapkan Jadi Tersangka Pencabulan 2 Anak di Bawah Umur
Harapan Besar dari Desa Kecil
Tegalsari mungkin hanyalah satu dari sekian banyak desa di Purwakarta. Namun, dari desa kecil inilah, harapan besar tengah bertumbuh. Perubahan tidak selalu lahir dari infrastruktur megah atau teknologi canggih, melainkan dari aksi-aksi sederhana yang dilakukan bersama—dengan semangat gotong royong dan rasa memiliki yang kuat.
Pilot project ini bukan hanya tentang sampah. Lebih dari itu, ini adalah upaya membentuk budaya baru: budaya memilah, budaya peduli, dan budaya menjaga lingkungan sebagai bagian dari identitas komunitas. Setiap ember pemilahan yang digunakan, setiap komposter yang dioperasikan, dan setiap sosialisasi yang dilakukan dari rumah ke rumah menjadi langkah nyata membangun kesadaran kolektif.
Keberhasilan Tegalsari memberikan pesan penting: pengelolaan sampah yang efektif tidak harus mahal, rumit, atau mengandalkan fasilitas besar. Pendekatan berbasis komunitas terbukti lebih efisien, murah, dan yang terpenting—mampu menyentuh akar persoalan, yakni kebiasaan di tingkat rumah tangga. Dari sinilah perubahan mengalir: dari keluarga, ke RT, RW, hingga menjadi bagian dari sistem pengelolaan sampah skala kawasan.
Jika satu desa bisa, desa-desa lain pun bisa. Tegalsari telah menunjukkan bahwa keterlibatan warga, dukungan pemerintah, dan regulasi yang tepat dapat berjalan berdampingan membentuk sistem yang berkelanjutan. Dari sini, Purwakarta mulai merintis perubahan menuju sistem persampahan yang lebih berkelanjutan, lebih manusiawi, dan berpihak pada masa depan.*