Berbeda dengan Saprudin yang memilih menerima kompensasi dan mencoba beradaptasi, Mimin Mintarsih (45) secara tegas menolak relokasi.
Mimin mengaku, telah menjalankan usaha warung selama 19 tahun di depan gerbang TPA Sarimukti dan sangat bergantung pada penghasilan dari warung tersebut.
“Sudah puluhan tahun saya di sini. Modal usaha saya lebih dari Rp25 juta. Kalau dibongkar dan cuma dikasih uang, pasti habis. Saya tetap menolak,” ujarnya tegas.
Menurut Mimin, pemerintah tidak cukup hanya memberikan uang ganti rugi, tapi perlu menyediakan lokasi usaha baru yang layak agar warga tetap bisa bertahan hidup.
“Saya butuh tempat usaha, bukan cuma disuruh pindah tanpa kepastian,” ucapnya.
Sekedar diketahui, Kampung Ciherang yang berada di sekitar TPA Sarimukti sudah lama dikenal sebagai kampung pemulung. Sebagian besar warganya menggantungkan penghasilan dari aktivitas memilah dan menjual sampah.
Selain itu, banyak juga yang membuka usaha kecil seperti warung dan bengkel dadakan untuk melayani kebutuhan sesama pemulung atau sopir truk sampah.
Pengurus Kampung Ciherang, Nandang Beceng menilai, penertiban yang dilakukan saat ini mengancam sumber penghidupan mereka.
Ia meminta Pemprov Jawa Barat tidak hanya melihat dari sisi penataan visual, tapi juga memikirkan dampak sosial ekonomi warga yang sudah lama menetap di wilayah tersebut.
“Meskipun yang dibongkar cuma gubuk, tetap saja itu dibangun pakai modal. Penghasilan dari mulung kecil, tapi ya itu satu-satunya yang mereka bisa kerjakan. Kalau digusur, disuruh pindah, ya pasti balik lagi. Karena sudah terbiasa hidup dari sini,” ujarnya.
Meski beberapa warga yang mendapat kompensasi memang sempat pulang ke kampung asalnya, namun Nandang memprediksi mereka akan kembali lagi ke Sarimukti.
“Orang kalau sudah terbiasa kerja mulung, ya gak bisa pindah kerjaan. Mau kerja apa lagi,” tandasnya.
Dalam unggahan video di media sosial pribadinya, Gubernur Dedi Mulyadi menyampaikan bahwa penataan kawasan TPA dilakukan demi menciptakan lingkungan yang lebih bersih, aman, dan tertib.
Ia juga menyebut bahwa kompensasi diberikan sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada warga terdampak.
Namun fakta di lapangan, warga berharap penataan kawasan tidak hanya berhenti pada urusan estetika dan kebersihan, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal.
Mereka juga menuntut solusi yang lebih manusiawi dan realistis, seperti relokasi usaha, pelatihan kerja, atau pembukaan lapangan kerja baru di sekitar zona TPA yang baru.