RADAR JABAR - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Nomor 135/PUU-XXI/2024 memuai banyak respons dari berbagai pihak.
Isi dari putusan itu yakni, pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal tidak bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945.
Pengamat kebijakan publik, Yusfitriadi mengkritik putusan MK yang memisahkan Pemilu Nasional dan Daerah.
Founder LS Vinus itu menilai, putusan MK tersebut dinilai memiliki potensi melanggar UUD 45 hingga menciptakan preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
"Ini menjadi preseden buruk, karena bisa membuka celah pembenaran bahwa pelanggaran terhadap undang-undang bisa saja dilakukan, asal nanti diuji di MK," jelas Yusfitriadi, Jumat (4/7/2025).
Dia mengatakan, MK perlu mengeluarkan putusan yang selaras dengan tugas dan kewenangannya.
BACA JUGA:Tepati Janji, Taj Yasin Serahkan Bantuan Benih Padi untuk Petani Terdampak Banjir di Demak
BACA JUGA:Rick's Sayati Juara Soeratin Cup 2025, Bupati Bandung: Banyak Bibit Pesepakbola Hebat
Ia menambahkan, MK perlu menjaga konatitusi dan bukan melanggar meski substansinya dapat menguntungkan.
"Harusnya MK menjaga konstitusi, bukan malah melanggarnya meskipun secara substansi terlihat menguntungkan," tambah dia.
Sisi substantif, lanjut dia, banyak hal positif. Namun, bila putusan MK tersebut melanggar undang-undang maka kontraproduktif dengan tugas MK.
Putusan dadi MK itu juga dapat berpengaruh pada masa jabatan kepala daerah. Bahkan, jelas Yusfitriadi, dapat menimbulkan kecemburuan soal kemungkinan perpanjangan masa jabatan.
"Kalau DPRD diperpanjang dua tahun, sementara DPR RI tidak, ini menimbulkan kecemburuan dan permasalahan konstitusional. Tidak ada mekanisme perpanjangan jabatan hasil pemilu yang sah tanpa melalui proses legislatif," pungkasnya.