Nurjaman menyebutkan, saat ini untuk ongkos angkut hasil panen bisa mencapai Rp700 ribu sekali jalan. Hal itu pun tentunya menjadi beban besar warga yang hanya mengandalkan penghasilan dari bertani atau berdagang harian.
Bahkan, tak jarang anak-anak terpaksa harus bolos atau terlambat kesekolah karena rakit sedang digunakan menjala ikan oleh pemiliknya.
”Saya juga kalau mau ngarit (mencari rumput untuk pakan ternak) susah karena rakit sering dipakai buat ngecrik (menjala.red) ikan. Gak semua orang punya rakit,” keluh warga Nana (74), warga lainnya.
Memang kondisi tak adanya jembatan penyeberang berdampak terhadap aktivitas dan merambat keberbagai sektor, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan layanan publik.
Bahkan, salah seorang warga yang berprofesi pedagang seperti Nining (42) harus bertaruh waktu dan cuaca demi bisa berjualan setiap pagi.
”Kalau rakitnya gak ada, saya rugi, gak bisa jualan. Anak saya juga gak sekolah,” ucapnya.
Kondisi yang dialami warga Desa Karanganyar Bandung Barat itu pun telah berlangsung puluhan tahun. Padahal, warga sering meminta kepada pemerintah daerah untuk membangun jembatan.
”Sampai sekarang kami masih menunggu (pembuatan jembatan) tapi sampai sekarang belum ada tanda-tanda direalisasikan, baik oleh pemerintah daerah maupun pengelola waduk,” terangnya.