RADAR JABAR - Tuntutan dari Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) yang disampaikan pada keterangan tertulis 29 April 2025, yang meminta agar pengemudi ojek online (ojol) dijadikan pekerja tetap sebenarnya telah menjadi topik diskusi dari berbagai pihak sejak lama. Wacana ini muncul sebagai respons terhadap kekhawatiran mengenai perlindungan yang kurang memadai bagi para pengemudi, terutama dalam hal jaminan sosial dan hak-hak pekerja lainnya.
Menurut ASPEK Indonesia, dengan menjadikan pengemudi ojol sebagai pekerja tetap, mereka akan memperoleh perlindungan yang lebih baik seperti tunjangan kesehatan, asuransi, dan jaminan pensiun yang selama ini belum sepenuhnya mereka terima dalam status kerja yang fleksibel. Namun, kebijakan ini juga memicu beragam pendapat dari berbagai pihak, mulai dari ahli ekonomi, aplikator, hingga pengemudi itu sendiri. Beberapa pihak menyambut baik ide tersebut, karena dianggap dapat memberikan rasa aman dan stabilitas ekonomi bagi pengemudi.
Di sisi lain, ada pula yang khawatir Wacana menjadikan pengemudi ojol sebagai pekerja tetap mendapat perhatian dari berbagai ahli ekonomi yang menilai dampaknya terhadap industri ini serta ekonomi digital secara keseluruhan. Di satu sisi, ada yang melihatnya sebagai langkah positif dalam memberikan perlindungan lebih kepada pengemudi, namun ada pula yang menganggapnya dapat merugikan banyak pihak.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), mengingatkan bahwa jika kebijakan ini diterapkan, harus dipikirkan apakah struktur gaji tetap akan menciptakan insentif yang memadai bagi pengemudi. “Dengan model fleksibel yang ada sekarang, pengemudi dapat bekerja sesuai dengan permintaan pasar dan mendapatkan penghasilan yang bervariasi. Jika diubah menjadi pekerja tetap, jumlah pekerjaan yang dapat diambil akan terbatas, yang mungkin akan merugikan mereka yang bergantung pada penghasilan lebih tinggi saat jam sibuk,” ujar Nailul pada 18 April 2025.
BACA JUGA:Aksi Massa Ojol Tuntut THR Tuai Dukungan dan Hujatan
BACA JUGA:9 Jam Jalur Puncak Ditutup, Wisatawan Asal Tanggerang Pilih Sewa Ojol
Nailul juga menekankan pentingnya mempertimbangkan dampak sosial dan ekonomi bagi para pengemudi yang selama ini mendapat manfaat dari sistem fleksibel tersebut. Wijayanto Samirin, Ekonom Senior Universitas Paramadina, mengusulkan agar kebijakan ini dipertimbangkan dengan hati-hati.
"Kebijakan ini harus dilihat dari berbagai aspek, tidak hanya dari sisi perlindungan sosial tetapi juga dampaknya terhadap model bisnis dan daya saing industri. Jika status pengemudi diubah, bisa jadi banyak orang yang menginginkan pekerjaan fleksibel dengan pendapatan harian akan kehilangan kesempatan,” kata Wijayanto pada 22 April 2025.
Ia menambahkan bahwa kebijakan seperti ini harus mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan pekerja dan keberlanjutan industri yang dapat menyediakan banyak peluang kerja dengan fleksibilitas tinggi. Pendapat dari pihak aplikator mengenai wacana ini juga beragam. Tirza Munusamy, Chief of Public Affairs Grab Indonesia, menyampaikan bahwa kebijakan ini justru bisa merugikan ekosistem transportasi digital yang telah terbentuk.
"Jika pengemudi menjadi karyawan, maka akan ada seleksi, kuota, dan pembatasan jam kerja. Saat ini, siapa pun bisa mendaftar dan langsung bekerja tanpa batasan waktu,” jelas Tirza pada 10 April 2025. Ia juga mengingatkan bahwa skema kerja saat ini justru berfungsi sebagai bantalan sosial bagi banyak orang, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi. “Jika kita ubah semuanya jadi karyawan, barrier to entry akan naik. Hanya sebagian orang yang akan bisa bekerja, sementara jutaan yang lain kehilangan akses untuk mencari nafkah,” ungkap Tirza.
Dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh para mitra pengemudi, tetapi juga pada banyak usaha kecil dan menengah (UMKM) yang bergantung pada layanan GrabFood, GrabMart, dan lainnya. Lebih lanjut, Tirza juga menambahkan bahwa jika pengemudi diubah menjadi pekerja tetap, perusahaan akan menanggung biaya tetap yang mungkin tidak selalu sebanding dengan tingkat permintaan. “Biaya operasional bisa melonjak, yang pada akhirnya akan berdampak pada harga layanan yang harus dibayar oleh konsumen,” tambahnya.
Agung Yudha, Direktur Eksekutif Modantara, menyatakan bahwa kebijakan ini perlu dilihat dari perspektif keberlanjutan industri serta akses masyarakat terhadap pekerjaan. "Menjadikan pengemudi ojol sebagai pekerja tetap dapat mengubah keseimbangan yang sudah ada antara fleksibilitas kerja dan akses ekonomi. Jika status mereka berubah, sektor ini akan kehilangan karakter inklusivitas yang membuatnya dapat diakses oleh hampir semua orang," ujarnya pada 20 April 2025. Modantara juga menyoroti bahwa perubahan ini akan mempengaruhi tidak hanya para pengemudi, tetapi juga masyarakat yang bergantung pada layanan ojol sebagai sarana transportasi murah dan cepat.
Maman Abdurrahman: Memasukkan Ojol Sebagai UMKM Sebagai Jalan Tengah
Namun, di tengah perdebatan mengenai status pengemudi ojol, ada pula solusi yang dianggap sebagai jalan tengah yang tepat. Maman Abdurrahman, Menteri Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), mengusulkan agar pengemudi ojol dimasukkan sebagai bagian dari pelaku UMKM. Gagasan ini mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk ekonom Wijayanto Samirin, yang menilai bahwa ini adalah langkah yang sangat tepat.
"Driver ojek online akan mendapatkan keuntungan jika masuk dalam kategori UMKM, salah satunya pengembangan usaha dan kredit perbankan. Saya lihat ini justru bagus. Dengan bendera sebagai UMKM, mereka bisa bertumbuh kegiatannya, dari sebagai driver saja hingga merambah aktivitas bisnis lainnya. Ada peluang berkembang, merambah bisnis lain. Selain itu, akses kredit bersubsidi untuk UMKM dan berbagai program di bawah Kementerian UMKM," ujar Wijayanto pada 23 April 2025.