Situasi ini dimanfaatkan oleh para pelaku kapitalisme berbasis agama. Ketika label seperti "berkah," "syariah," atau istilah lain yang bernuansa religius disematkan pada suatu produk atau jasa, masyarakat cenderung langsung percaya tanpa berpikir panjang.
BACA JUGA:Perspektif Pernikahan Dini Menurut Sosial, Budaya, Hukum dan Agama
BACA JUGA:Fenomena Kerasukan Menurut Psikologi dan Pandangan Agama
Ditambah dengan lemahnya pengawasan dari lembaga terkait, para pelaku bisnis ini semakin bebas menaikkan harga dan mengemas produk mereka dengan klaim-klaim yang tidak berdasar. Akhirnya, semua ini sering kali berujung pada penipuan yang merugikan masyarakat.
Jika kita melihat fenomena jualan agama yang laris di Indonesia, hal ini sebenarnya perlu menjadi bahan refleksi bagi kita semua. Di satu sisi, jika praktik semacam ini terus dibiarkan, ke depannya akan semakin banyak masyarakat yang menjadi korban.
Sebab, mereka cenderung lebih percaya pada label agama yang terkesan aman, meskipun kenyataannya tidak selalu demikian. Fenomena ini masih sering terjadi, terutama di daerah-daerah dengan tingkat edukasi yang relatif rendah.
Sebagai solusi, masyarakat perlu bersikap lebih rasional dan bijaksana dalam memilih atau memutuskan sesuatu yang mengatasnamakan agama. Tidak semua hal harus ditanggapi secara berlebihan, terutama jika masalah tersebut sebenarnya dapat dijelaskan secara logis atau ilmiah.
Contohnya sederhana, jika Anda sedang sakit, solusi yang tepat adalah berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan penanganan medis yang sesuai, bukan dengan membeli air doa atau air kobokan ulama yang klaimnya belum terbukti kebenarannya, atau meminta tokoh agama mencelupkan jari ke air agar Anda bisa sembuh secara instan.
Ketika masyarakat mulai memiliki pola pikir rasional seperti ini, mereka akan mampu membedakan mana hal yang masuk akal dan mana yang hanya merupakan penipuan yang dibungkus dengan label agama.