RADAR JABAR - Para pemimpin negara-negara Arab dilaporkan merasa khawatir atas potensi gejolak di wilayah mereka menyusul lengsernya Bashar Assad dari kekuasaan di Suriah. Kekhawatiran ini terungkap melalui analisis para pakar, pejabat, dan diplomat, sebagaimana dilaporkan oleh The Washington Post.
Pemimpin Mesir, Yordania, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) disebut merasa bahwa kejatuhan Assad dapat memicu ketidakstabilan politik di negara mereka. Seorang diplomat mengungkapkan bahwa ekspansi kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) di Suriah menjadi ancaman khusus bagi Presiden Mesir Abdel Fattah Sisi.
Menurut laporan tersebut, negara-negara Arab menyikapi perkembangan di Suriah dengan hati-hati. Mereka tengah mencari cara untuk memengaruhi situasi sekaligus menahan potensi ketidakstabilan yang mungkin terjadi pasca-kejatuhan Assad.
Situasi di Suriah semakin dinamis setelah kelompok oposisi bersenjata berhasil merebut ibu kota Damaskus pada 8 Desember. Dalam perkembangan lainnya, pejabat Rusia mengonfirmasi bahwa Assad mengundurkan diri sebagai presiden setelah melakukan negosiasi dengan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik Suriah.
BACA JUGA:Presiden Yoon Suk Yeol Ditangguhkan Dari Tugas Kepresidenan Setelah Dimakzulkan
Diketahui bahwa, mantan Presiden Suriah kemudianmeninggalkan Suriah menuju Rusia, di mana ia diberikan suaka.
Pasukan oposisi yang dipimpin oleh kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) berhasil merebut ibu kota Damaskus setelah melancarkan serangkaian serangan cepat yang dimulai pada 27 November. Dalam waktu kurang dari dua minggu, mereka berhasil menguasai kota-kota strategis seperti Aleppo dan Damaskus, menjadi puncak dari operasi militer tersebut.
Setelah kekalahan tersebut, Kementerian Luar Negeri Rusia mengonfirmasi bahwa Bashar al-Assad telah mengundurkan diri dan meninggalkan Suriah. Ia dilaporkan melarikan diri dengan pesawat menuju lokasi yang hingga kini belum diketahui.
Para pemberontak kemudian mengumumkan bahwa "Damaskus telah bebas dari tirani Bashar al-Assad," menandai dimulainya era baru bagi Suriah setelah bertahun-tahun mengalami konflik dan penindasan.
Sementara itu pada 10 Desember, Mohammed al-Bashir, yang sebelumnya memimpin administrasi berbasis di Idlib bentukan Hayat Tahrir al-Sham dan kelompok oposisi lainnya, ditunjuk sebagai perdana menteri sementara. Situasi ini semakin memicu kekhawatiran pemimpin Arab akan dampak politik di kawasan mereka.