RADAR JABAR - Belakangan ini, topik mengenai bobroknya sistem pendidikan di Indonesia sedang menjadi perbincangan hangat. Bayangkan, ada siswa SMA yang masih belum bisa membaca—padahal kemampuan membaca adalah salah satu inti dalam proses pembelajaran di sekolah maupun dalam kehidupan manusia.
Bahkan, menurut artikel dari Kumparan.com, terdapat 29 siswa dan siswi di sebuah SMP yang juga belum bisa membaca. Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin mereka bisa duduk di bangku SMP atau SMA tanpa kemampuan dasar ini, yang seharusnya sudah diperoleh sejak SD? Jika belum bisa membaca, semestinya mereka tidak naik kelas.
Dari penelitian lebih lanjut melalui Katadata.co.id, diketahui bahwa di Indonesia terdapat kebiasaan untuk tetap meluluskan atau menaikkan kelas siswa yang belum mencapai kemampuan yang memadai.
Hal ini terjadi karena tingginya jumlah siswa yang tidak naik kelas atau tidak lulus dapat berdampak negatif pada akreditasi sekolah. Karena proses pengujian dan pengajaran dilakukan oleh pihak yang sama, beberapa oknum sekolah akhirnya tetap meluluskan siswa yang belum memenuhi standar kemampuan.
Itu baru dari sisi sistem pendidikan. Masih ada masalah ketidakmerataan sekolah yang membuat banyak siswa harus menempuh jarak jauh untuk bersekolah, ditambah kurangnya guru yang kompeten akibat seleksi yang kurang ketat dan rendahnya gaji. Inilah gambaran sistem pendidikan di Indonesia yang, meski terus diperbaiki, masih memiliki banyak kekurangan.
Target Indonesia Emas pada 2045 tentu menuntut kita untuk tidak hanya mengandalkan pendidikan formal di dalam negeri sebagai satu-satunya bekal untuk bertahan hidup dan mencari nafkah, terutama mengingat besarnya pengaruh pendidikan terhadap pekerjaan dan kualitas sumber daya manusia saat ini.
BACA JUGA:Ketua Umum IKA UPI Taruh Harapan Besar pada Kementerian Pendidikan
BACA JUGA:Prof Stella Christie Resmi Jabat Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi RI
Selain itu, masih ada tantangan besar lainnya yang harus dihadapi, yaitu masalah mentalitas masyarakat. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang rendah minat bacanya, yang menunjukkan adanya pola pikir malas yang perlu diperbaiki. Ini baru sebagian dari masalah mentalitas yang memengaruhi kualitas masyarakat kita, termasuk keputusan-keputusan penting dalam kehidupan mereka.
Cara Mengubah Pola Pikir Baru
Untuk masalah sistem pendidikan, kita hanya bisa menunggu dan terus mengkritisi pemerintah. Namun, soal mentalitas dan pola pikir, kita dapat membangunnya sendiri, misalnya dengan meluangkan waktu untuk membaca buku atau menonton video edukatif.
Tujuan kami bukan untuk merendahkan Indonesia, melainkan untuk membuka mata akan realita yang ada agar kita semua bisa berbenah. Selanjutnya, kami akan fokus membahas lima mentalitas dan pola pikir yang perlu diadopsi agar kita bisa tetap bertahan dan berkembang, meskipun sistem pendidikan kita masih jauh dari sempurna.
1. Pertahankan Pola Pikir Baik
Kami akan memulai pembahasan ini dengan mengutip seorang filsuf bernama Marcus Aurelius, yang pernah berkata, "Our life is the result of our thoughts" ("Kehidupan kita adalah hasil dari pikiran kita sendiri"). Segala keputusan yang kita ambil atau tindakan yang kita lakukan sehari-hari adalah hasil dari pola pikir kita.
Contoh sederhana, ketika ada dua orang yang sama-sama terjebak kemacetan: orang pertama merasa sangat kesal dan sepanjang kemacetan hanya marah dan gelisah, karena pikirannya penuh dengan kekhawatiran akan hal-hal yang terjadi jika dia terlambat.
Di sisi lain, orang kedua bereaksi dengan lebih tenang, memilih mendengarkan podcast, dan berpikir, "Apakah dengan marah kemacetan ini akan hilang? Apakah ada yang bisa saya lakukan untuk menghindari ini? Sepertinya tidak, karena saya sudah terjebak."
Daripada marah tanpa hasil, dia memilih menerima situasi sambil mendengarkan podcast. Ini adalah contoh kecil bagaimana pola pikir dan mentalitas memengaruhi keputusan seseorang.