Fenomena ini menunjukkan bahwa kemiskinan tidak hanya dieksploitasi secara langsung, tetapi juga secara halus tanpa disadari. Bagi sebagian orang, membeli foto orang miskin mungkin tampak seperti upaya dokumentasi bagi fotografer atau sebagai cara untuk membangkitkan kesadaran tentang kemiskinan.
Namun, karena orang miskin tidak memiliki kesadaran tentang hak-hak mereka, keuntungan dari penjualan foto ini tidak pernah sampai kepada mereka yang menjadi subjek foto. Secara kasar, mereka hanya dijadikan objek atau produk oleh sebagian pihak.
Mungkin saja ada fotografer yang sudah meminta izin atau memberikan imbalan, tetapi bisa jadi orang yang difoto merasa terpaksa menerima karena keadaan yang mendesak atau merasa tidak enak untuk menolak.
2. Kurangnya skill
Di sisi lain, keterbatasan pendidikan juga sering kali membuat mereka tidak memiliki keterampilan yang memadai, bahkan berpotensi mengembangkan mentalitas sebagai pengemis. Hal ini dapat kita lihat dari banyaknya konten kreator di TikTok yang sering mengadakan giveaway besar-besaran dan memamerkan gaya hidup mewah.
Akibatnya, ada saja orang yang datang ke rumah mereka untuk meminta uang secara cuma-cuma tanpa menawarkan nilai apa pun. Pada akhirnya, skenario ini selalu berakhir sama, di mana konten kreator tersebut justru memanfaatkan orang miskin dengan "memberi makan" mentalitas mereka.
Konten kreator ini juga mendapatkan banyak views dan likes dari momen semacam ini, sementara orang miskin yang datang ke rumah mereka berpotensi terus memiliki mentalitas pengemis dan hanya dijadikan alat untuk meningkatkan popularitas kreator.
3. Keterbatasan Akses pada Bantuan Hukum
Faktor lain yang membuat orang miskin mudah dieksploitasi adalah keterbatasan akses terhadap bantuan hukum. Bagi mereka yang hidup di kelas ekonomi rendah, hukum sering kali terasa sebagai sesuatu yang eksklusif, karena selama ini hukum lebih banyak dinikmati oleh orang-orang yang memiliki kekuatan finansial dan koneksi dengan pihak berwenang.
Sementara itu, orang miskin harus berjuang sendiri dengan sangat keras untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan mendapatkan keadilan.
Bayangkan saja, biaya untuk menyewa pengacara bisa mencapai puluhan juta rupiah, jumlah yang jelas tidak terjangkau bagi mereka. Uang sebesar itu lebih baik digunakan untuk kebutuhan sehari-hari seperti makan, membayar sewa tempat tinggal, atau kebutuhan dasar lainnya.
Oleh karena itu, pada akhirnya banyak orang miskin lebih memilih pasrah atau tidak melanjutkan kasus mereka, karena merasa bahwa proses hukum tidak sebanding dengan waktu dan biaya yang harus dikeluarkan.
BACA JUGA:3 Fakta Ironis Sistem Pinjol dan Paylater Sebagai Perangkap Kemiskinan
BACA JUGA:2 Faktor Utama Penyebab Kemiskinan di Indonesia Meningkat, Sampai Banyak Lahir Orang Miskin Baru
Ketimpangan dalam akses hukum ini mengingatkan saya pada kasus seorang lansia dari Situbondo, Jawa Timur, yaitu nenek Asyani. Pada tahun 2015, ia dituduh mencuri kayu jati milik Perhutani, padahal nenek Asyani selalu mengatakan bahwa kayu tersebut berasal dari pohon di lahannya sendiri.
Supriyono, pengacara nenek Asyani, juga menjelaskan bahwa saksi dalam persidangan tidak bisa membuktikan keterlibatan nenek Asyani dalam pencurian kayu tersebut. Namun, meskipun demikian, hasil persidangan tetap tidak berpihak pada beliau, dan ia dinyatakan bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Situbondo.
Nenek Asyani dijatuhi hukuman satu tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta, sebuah keputusan yang terasa tidak masuk akal mengingat kondisi nenek Asyani yang hidup sebatang kara di desa dan jelas tidak mampu membayar denda sebesar itu. Ia pun harus siap menerima konsekuensi jika tidak mematuhi sistem yang berlaku.
Hal ini menjadi sebuah ironi di mana orang miskin yang mencuri sebatang kayu justru mendapat hukuman berat, sementara banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat atau pengusaha kaya yang merugikan negara malah berakhir dengan hukuman ringan atau bahkan lolos dari jeratan hukum.