BACA JUGA:5 Rekomendasi Brand Skincare Terbaik di Indonesia Tahun 2022-2023
Apa maksudnya? Anda pasti sudah familiar dengan istilah "fast fashion." Sederhananya, fast fashion adalah fenomena yang berkembang mengikuti tuntutan zaman, yang berhasil memicu pertumbuhan industri dengan produk dan inovasi baru.
Sekilas, hal ini tampak positif karena menciptakan pasar yang lebih besar dan kompetitif. Namun, yang sering terabaikan adalah dampak negatif dari perubahan ini, seperti kerusakan lingkungan, eksploitasi pekerja, dan ancaman terhadap kelangsungan hidup hewan.
Sayangnya, industri kecantikan berada di jalur yang sama dengan industri fashion. Merek-merek kecantikan berlomba-lomba mengeluarkan produk skincare dan makeup hampir setiap bulan, membuat konsumen bingung dengan beragam varian produk yang tidak selalu memiliki dasar yang jelas. Akibatnya, banyak produk yang tidak digunakan oleh konsumen dan dibiarkan hingga kedaluwarsa.
Secara bisnis, hal ini sebenarnya tidak memberikan dampak negatif bagi brand karena produk tetap terjual dan pendapatan meningkat. Namun, masalahnya adalah data pada tahun 2018 menunjukkan bahwa industri kecantikan di Amerika Serikat menghasilkan sekitar 7,9 miliar kemasan plastik keras setiap tahun. Data ini berkontribusi langsung pada jumlah sampah global yang mencapai 120 miliar kemasan setiap tahun.
Yang lebih memprihatinkan, menurut OECD, hanya 9% dari kemasan ini yang dapat didaur ulang, sehingga sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah atau di lautan. Demi kulit yang cerah, apakah sepadan menciptakan gunungan sampah?
Oleh karena itu, kepada para pengusaha skincare, mungkin Anda adalah pemilik dari brand skincare. Coba pikirkan strategi bisnis yang lebih berfokus pada keberlanjutan (sustainability).
BACA JUGA:4 Cara Mengetahui Produk skincare Manjur di Kulitmu
Kami yakin strategi ini dapat menjadi langkah yang baik dalam jangka panjang. Namun, jika Anda ingin brand Anda tetap bertahan, setidaknya ada tiga masalah utama yang harus dihadapi.
Pertama, ancaman inkonsistensi. Perlu diingat, skincare seharusnya bukan bagian dari industri yang bergerak cepat karena setiap produknya harus melalui riset yang mendalam dengan metode klinis. Namun, mereka yang terjun ke dunia "fast beauty" cenderung skeptis dan lebih fokus pada pembuatan produk baru setiap bulan. Situasi ini membuka celah untuk menurunkan kualitas produk.
Masalah lainnya adalah meningkatnya biaya operasional dan menumpuknya produk yang tidak terjual, yang disebut dead stock. Ini bukan masalah sederhana. Mengejar target produksi dalam waktu singkat hanya memiliki dua solusi, yaitu meningkatkan peralatan atau menambah pekerja. Kedua opsi ini tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Selain itu, perlu dipahami bahwa dalam mode "fast beauty", ada golden time yang sangat singkat. Jika produk Anda tidak berhasil terjual habis dalam waktu tersebut dan Anda tidak dapat memutar otak untuk membuat produk tersebut bergerak, dead stock akan semakin menumpuk.
Pada akhirnya, Anda harus mengeluarkan lebih banyak biaya untuk pemasaran, membayar kolaborasi dengan influencer, atau bahkan membuat klaim yang lebih bombastis, palsu, dan menyesatkan konsumen. Hal ini pada akhirnya dapat merusak brand Anda.
Jadi, apa pelajaran yang bisa kita ambil hari ini dari fenomena fast beauty yang semakin mengkhawatirkan?