RADAR JABAR - Akhirnya, masa kepemimpinan Jokowi periode kedua akan segera berakhir. Pada periode sebelumnya, tahun 2019, Jokowi menerima rapor merah dalam aspek demokrasi.
Menurut beberapa peneliti politik, nilainya tidak hanya jelek, tetapi juga merupakan rekor terburuk setelah hampir 20 tahun. Bagaimana dengan periode saat ini? Kondisi semakin parah.
Mengutip laporan dari Freedom House, indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 poin pada 2019 menjadi 53 poin pada 2023. Begitu juga dengan data dari Reporters Without Borders, yang menunjukkan bahwa skor kebebasan pers kita menurun dari 63,23 poin pada 2019 menjadi 54,83 poin pada 2023.
Bahkan, demokrasi kita sempat disebut "flawed" atau cacat oleh Economic Intelligence Unit. Apakah kita tidak merasa malu? Kita bisa melihat dengan jelas bahwa pada periode kedua ini terdapat banyak regulasi yang dirancang untuk membungkam suara-suara kritis.
Undang-Undang yang Diubah Era Jokowi
Kami akan menjelaskan regulasi-regulasi yang masih dirancang dan yang sudah disahkan di era Jokowi, khususnya yang berdampak pada demokrasi kita, melalui instrumen yang sudah menjadi produk hukum.
1. Undang-Undang ITE
Hanya perlu 10 tahun, dari 2013 hingga 2023, sudah ada 612 kasus terlapor terkait UU ITE. Dalam dua tahun terakhir saja, sudah ada 219 kasus di era Jokowi. UU ITE telah direvisi dua kali.. Revisi pertama pada 2016 dan revisi kedua pada 2024.
BACA JUGA:Presiden Jokowi Pimpin Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila 2024 di Monumen Lubang Buaya
BACA JUGA:Presiden Jokowi Nonton Motogp Didampingi Erick Thohir Hingga Menpora
Seharusnya, setelah dua kali revisi, regulasi ini menjadi lebih baik. Namun, revisi pertama mempertahankan pasal-pasal yang selama ini dikritik, dan proses revisinya tidak transparan. Revisi kedua pada tahun 2024 juga tidak transparan, dan pasal-pasal karet masih ada.
Selain itu, ada penambahan pasal yang memungkinkan negara memutus akses informasi yang dianggap mengganggu ketertiban umum.
2. Perpres Nomor 32 Tahun 2024
Peraturan ini bertujuan untuk mengontrol konten apa yang boleh dan tidak boleh ada di platform digital, terutama konten berita dan jurnalisme. Aturan ini mengacu pada Undang-Undang Pers.
Jika ada konten yang dianggap tidak sesuai dengan Undang-Undang Pers, konten tersebut akan dihilangkan dari platform digital dan hanya bisa diakses dari situs perusahaan persnya, tetapi tidak boleh ada di media sosial. Ini jelas merupakan kebijakan yang bersifat sensor.
Meskipun tidak se ekstrem pada zaman Orde Baru, kebijakan ini tetap bertentangan dengan semangat anti-sensor Undang-Undang Pers, yang seharusnya memperbolehkan siapa saja untuk menanggapi atau mengoreksi berita yang dianggap tidak sesuai dengan kebenarannya.
3. Keputusan Menteri Kominfo Nomor 172 Tahun 2024
Ini merupakan turunan dari Permen Kominfo Nomor 5 Tahun 2020. Regulasi ini memberikan negara wewenang untuk memaksa platform digital menghapus konten yang dianggap meresahkan masyarakat melalui ancaman denda.
Jadi, jika TikTok membiarkan konten yang mengganggu masyarakat tayang di platformnya, TikTok bisa dikenakan denda. Bayangkan jika Anda menjadi TikTok; daripada dikenakan denda, lebih baik menghapus konten tersebut, kan?