RADAR JABAR - Di zaman sekarang, tidak lagi tepat menyalahkan diri sendiri karena belum juga diterima kerja. Banyak pekerjaan tersedia di portal Jobs, tetapi belum ada yang diterima. Mengapa hal ini perlu kita bahas?
Seperti yang kita ketahui, platform ini merupakan salah satu media sosial yang positif karena diisi oleh profesional yang terhubung dengan sesama profesional dalam industri mereka. IQ dan intelektualitas mereka di atas rata-rata, sehingga komentar-komentar toxic tidak akan ada di sini.
Namun, di balik ketenangan ekosistem sosial media ini, kita harus mencurigai dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi secara psikologis pada penggunanya setelah bertahun-tahun. Berdasarkan hipotesis saya, orang-orang takut akan daftar hitam HR dan perusahaan di sini.
Hal yang tidak pernah disadari selama ini adalah bahwa Linkedin sulit dijadikan tempat untuk diskusi bagi para pekerja. Masalah-masalah terkait profesionalisme yang tidak sehat, termasuk upah yang tidak adil dan sering kali tidak dibayar oleh perusahaan, seringkali tidak terungkap.
Ini seharusnya menjadi ruang terbuka untuk diskusi di platform ini, dengan cara yang sopan dan sesuai dengan topiknya. Namun, banyak orang tetap takut karena mereka lebih memprioritaskan kebutuhan finansial pribadi daripada menyuarakan pendapat terkait kondisi yang mungkin tidak mendukung mereka.
Di sini kami akan mengungkap kesunyian itu seolah-olah menjadi whistleblower agar perhatian banyak pihak bisa terfokus. Setidaknya, ketika perusahaan tidak terlalu memperhatikan, pekerja bisa lebih sadar dan waspada terhadap tindakan yang merugikan ini.
BACA JUGA:Lowongan PT KAI Terapkan Persyaratan IPK 3,5, Warganet Bandingkan dengan IPK Gibran
Saat ini, tahun 2024, kita telah memasuki fase ekonomi yang lesu dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja di bidang teknologi yang semakin kurang dihargai, disertai dengan penurunan gaji yang memperburuk keadaan ini.
Ini terjadi karena investor melarikan diri akibat strategi pemerintah yang tidak terkoordinasi, serangan AI, konflik perang, dan faktor kecil lainnya.
Hal ini mengakibatkan kurangnya sumber daya keuangan perusahaan untuk merekrut atau mempertahankan karyawan mereka yang sudah ada.
Akibatnya, daya beli kita turun hingga 57%, menyebabkan deflasi, dan membuat perusahaan harus menurunkan margin keuntungan mereka. Siklus ini terus berputar dari hulu ke hilir sejak pertengahan tahun 2023 hingga sekarang.
Maraknya Lowongan Kerja Fiktif
Tidak ada yang bisa disalahkan secara spesifik soal sulitnya mendapatkan pekerjaan, namun masyarakatlah yang paling merasakan dampaknya. Dalam kondisi seperti ini, perusahaan semakin kreatif dalam mencari cara untuk tetap bertahan, salah satunya dengan menggunakan lowongan pekerjaan fiktif.
Mengapa mereka melakukannya? Salah satunya adalah agar mereka tetap terlihat ada, sementara pemutusan hubungan kerja di setiap departemen sudah terjadi di mana-mana.
Selain itu, memanfaatkan data dari setiap pelamar juga menjadi hal penting, meskipun untuk tujuan apa kami kurang begitu paham.
Kembali lagi, siapa yang paling dirugikan di sini? Ya, kita sebagai masyarakat yang melamar di sana dan memberikan data kita secara cuma-cuma, padahal lowongan tersebut tidak ada. Di mana kita bisa melihat fenomena ini?