RADAR JABAR - Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang melarang salam lintas agama telah menimbulkan beragam tanggapan, termasuk dari Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Dalam pernyataan resminya, BPIP mengungkapkan lima sikap terkait fatwa MUI tentang larangan salam lintas agama. BPIP menegaskan bahwa Indonesia berdiri kokoh berdasarkan prinsip Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Mereka menyatakan keprihatinan bahwa fatwa MUI tersebut bisa mengganggu keberagaman Indonesia yang telah lama dijunjung tinggi.
BPIP juga menyoroti bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan keragaman, terdiri dari 714 etnis, berbagai agama, dan kepercayaan.
BACA JUGA:PPKn Beda dengan Pendidikan Pancasila, BPIP Terus Kuatkan Jaringan Melalui BTU Pendidikan Pancasila
"Kekuatan Indonesia juga tercermin dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang telah menjadi perisai dalam menjaga keutuhan hidup berbangsa dan bernegara sejak zaman nenek moyang kita sehingga toleransi, semangat pluralisme, dan kerukunan beragama telah hidup secara kultural menjadi bagian dari identitas bangsa Indonesia," tulis BPIP dalam keterangan resminya, dikutip pada Selasa, 11 Juni 2024.
BPIP menyimpulkan bahwa kesepakatan dari MUI bisa mengakibatkan munculnya sikap eksklusif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
"Eksistensi ini telah berlangsung ratusan tahun hidup berdampingan secara damai, sekaligus menjadi kearifan bangsa, sehingga negara tidak boleh tunduk kepada hasil ijtima yang menyebabkan terjadinya eksklusivitas dalam kehidupan bernegara dan berbangsa," tambah BPIP.
BPIP mengemukakan bahwa seharusnya MUI, sebagai sebuah organisasi masyarakat keagamaan, diharapkan untuk patuh dan menghormati Pancasila serta Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan.
"Regulasi tersebut mengatur bahwa setiap ormas berkewajiban untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta keutuhan NKRI," lanjut BPIP.
Adapun dijelaskan bahwa BPIP merilis 5 sikap atas fatwan MUI soal larangan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan, sebagai berikut:
1. Secara teologis, terdapat perbedaan antara agama dan pemikiran agama, agama dan penafsiran agama. Hasil ijtima adalah pemikiran agama yang memiliki tafsir yang majemuk bukan mutlak sehingga tidak memiliki kebenaran yang tunggal dan absolut. Hasil ijtima harus dibentuk atas perspektif yang luas, termasuk mempertimbangkan dokumen dan kesepakatan internasional seperti The Amman Message, 9 November 2004; Marrakesh Declaration, 25-27 Januari 2016, tentang Hak-hak Minoritas Beragama di Dunia Islam; Abu Dhabi Declaration, 4 Februari 2019, tentang Persaudaraan Umat Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Kehidupan Bersama (Declaration on Human Fraternity for World Peace and Living Togerher); juga kesimpulan seminar internasional, Universitas Al-Azhar, Kairo, 27-28 Januari 2020; serta harus diuji secara publik. Pancasila sebagai ijtihad yang sudah disepakati oleh semua pihak (sehingga menjadi ijma/konsensus tertinggi, terlengkap, dan paling mengikat/binding) memiliki derajat keislaman yang telah diuji dan dibuktikan secara substantif. Pancasila tidak dihegemoni oleh ajaran agama tertentu, namun Pancasila merepresentasi substansi dari ajaran agama. Dalam negara Pancasila, ajaran Islam yang bersifat “Ubuddiyyah” dipegang teguh secara pribadi dan menjadi spirit dan inspirasi dalam mengaktualisasi moralitas diri menjadi manusia yang berkualitas dalam ber-“Mu’amalah”, baik bermuamalah secara sosial maupun berkenegaraan. Agama menjadi inspirasi batin dalam merepresentasikan nilai kemanusiaan dan persatuan yang tinggi, sehingga semakin beragama seseorang, semakin ia akan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila.
BACA JUGA:Kepala dan Pejabat BPIP Melayat ke Rumah Duka Peserta Seleksi Paskibraka di Sukabumi
2. Secara sosiologis, hasil ijtima tentang pelarangan ucapan salam lintas agama dan selamat hari raya keagamaan mengancam eksistensi Pancasila dan keutuhan hidup berbangsa yang sejak dahulu kala telah terkristalisasi menjadi sebuah kearifan lokal. Tradisi ini telah menjadi bagian yang diwariskan sejak ratusan tahun oleh nenek moyang kita. Keutuhan bangsa yang telah hidup ratusan tahun ini tidak boleh direduksi oleh kelompok keagamaan tertentu yang berpotensi mempolarisasi, mendisharmonisasi, dan mendisintegrasi keutuhan berbangsa.
3. Secara yuridis Islam, hasil ijtima yang dibuat hanya memiliki daya yang mengikat secara internum umat muslim dalam forum keagamaan muslim, sehingga tidak boleh dipaksakan ke dalam forum publik secara eksternum karena akan mereduksi nilai-nilai persatuan dan penghargaan terhadap kemajemukan berbangsa.