Orang Indonesia Bukan Nasionalis, Tapi 'Overproud' Narsistik

Sabtu 04-05-2024,08:51 WIB
Reporter : Wanda Novi
Editor : Wanda Novi

Gejala "overproud" yang terus berkembang dan banyak dipromosikan oleh media dapat dianggap sebagai bentuk narsisme kolektif, yaitu pencitraan kejayaan sebuah kelompok yang sangat bergantung pada pengakuan dari kelompok lain.

Narsisme tidak hanya terkait dengan harga diri yang berlebihan atau kesombongan. Studi-studi psikologi menunjukkan bahwa harga diri dan narsisme merupakan dua hal yang berbeda.

Bahkan, narsisme juga bisa dimiliki oleh orang yang memiliki harga diri rendah, seperti yang tampak pada kecenderungan "overproud" di Indonesia. Secara kasat mata, kecenderungan "overproud" ini ditandai oleh persepsi yang terlalu berlebihan tentang kebesaran dan keistimewaan Indonesia, serta kebutuhan untuk terus mendapatkan pujian.

Pada level yang lebih dalam, gejala ini berakar dari rasa inferioritas dan rasa malu yang telah tertanam kuat sejak masa kolonial. Rasa inferioritas ini termanifestasi dalam sifat yang hipersensitif, defensif, dan agresif terhadap kritik atau celaan.

Media, baik domestik maupun internasional, telah memanfaatkan gejala narsisme warga Indonesia ini, mulai dari konten kreator hingga industri film besar. Youtuber asing yang membicarakan tentang Indonesia hampir pasti akan diserbu oleh komentar-komentar penuh haru dan bangga dari netizen Indonesia.

Bahkan film-film Hollywood seringkali menyisipkan unsur-unsur Indonesia, baik itu melalui pemilihan aktor, lokasi pengambilan gambar, penggunaan bahasa, atau bahkan hanya menyebut nama Indonesia, sebagai bagian dari strategi pemasaran untuk menarik perhatian penonton.

BACA JUGA:5 Zodiak yang Paling Narsistik, Apakah Kamu Termasuk?

Dalam banyak kasus, gangguan kepribadian narsistik sulit untuk diatasi melalui psikoterapi. Ini adalah hal yang masuk akal. Individu yang mengalami gangguan kepribadian narsistik cenderung memiliki sikap arogan, merendahkan orang lain, dan kesulitan untuk berempati, sehingga sulit bagi mereka untuk mengakui bahwa mereka memiliki masalah psikologis.

Mirip dengan hal ini, pemerintah kita seringkali kurang responsif terhadap kritik, sementara rakyat yang "overproud" cenderung bereaksi dengan agresif setiap kali Indonesia dibicarakan, dan media terus merawat ego narsistik ini melalui berbagai narasi yang disampaikannya.

Ini memang agak mengkhawatirkan. Namun, kesamaannya hanya sampai di sini. Sementara kita memiliki psikolog atau psikiater untuk merawat gangguan psikologis individu, belum ada yang dapat merawat gejala narsisme yang dialami oleh sebuah bangsa, terutama jika bangsa tersebut terdiri dari sejumlah besar individu yang berbeda.

Solusinya akan terdengar sangat normatif, dimulai dari diri sendiri dan orang terdekat. Karena sebuah bangsa pada dasarnya adalah kumpulan individu, kesadaran dan perubahan di tingkat individu, jika cukup banyak, bisa mengubah keadaan. Media dapat memainkan peran penting di sini, membentuk imajinasi nasionalisme yang berbeda.

Jawaban ini mungkin bertentangan dengan intuisi kita, tetapi apa yang dibutuhkan saat ini adalah harga diri. Seperti yang telah kita diskusikan, rasa harga diri berbeda dari narsisme.

Scott Barry Kaufman menggambarkan perbedaan keduanya dengan cukup baik, dalam lingkungan sosial, seorang narsis ingin menjadi lebih maju, lebih superior dari orang lain, sementara orang dengan harga diri ingin membangun hubungan yang lebih dalam dan bermakna.

BACA JUGA:Mengenal Lebih Jauh Narsisme, Narsistik dan NPD

Narsisis merasa dirinya pusat dari lingkaran sosial, sementara orang dengan harga diri merasa dekat dengan lingkaran sosial. Sederhananya, seorang narsis melihat hubungan sosial sebagai kompetisi, sementara orang dengan harga diri melihatnya sebagai kolaborasi.

Kompetisi dan penghargaan memang penting, tapi obsesi pada keduanya justru menjadi masalah. Kuncinya adalah keseimbangan. Harga diri bukan hanya tumbuh dari validasi pihak eksternal, melainkan juga validasi internal.

Kategori :