Ketika Presiden Soekarno berkunjung ke Leningrad, dia sangat terkesan dengan bayangan bangunan berbentuk masjid, tetapi sayangnya bangunan itu dimanfaatkan sebagai gudang. Ketika ditanya mengenai komentarnya tentang Lenin, yang saat itu dikenal sebagai Senpites Board, Bung Karno justru memilih untuk berbicara tentang kondisi masjid berwarna biru yang dilihatnya.
BACA JUGA: Rusia Tolak Klaim Tentang Pembicaraan Damai dengan Ukraina di Jenewa
Dia meminta bangunan itu dikembalikan ke fungsi aslinya sebagai tempat ibadah. Dalam waktu hanya 10 hari setelah kunjungan Presiden Soekarno, bangunan tersebut kembali menjadi masjid yang saat ini dikenal sebagai Sentral Mosque, seperti yang ditulis oleh Retno Marsudi dalam Rusia Beyond.
Ketika hubungan harmonis antara Indonesia dan Uni Soviet berlangsung, Uni Soviet memberikan banyak bantuan dana untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur di Indonesia. Bantuan tersebut termasuk pembangunan Rumah Sakit Persahabatan Jakarta, Hotel Indonesia Jakarta, Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, serta beberapa tempat lainnya.
Salah satu momen menarik adalah ketika Bung Karno mengusulkan pembangunan Tugu Nasional pada tahun 1955. Saat itu, Bung Karno meminta pendapat atau saran dari Nikita Khrushchev, yang merupakan Sekjen Uni Soviet saat itu, terkait gagasan tersebut.
Namun, Khrushchev justru menyindir Bung Karno karena dianggap lebih memprioritaskan hal-hal yang tidak penting daripada kebutuhan bangsa Indonesia yang baru saja merdeka. Meskipun mendapat kritikan dari Khrushchev, Uni Soviet tetap memberikan bantuan kepada Indonesia, termasuk dalam pembangunan Tugu Monas, Stadion Gelora Bung Karno, dan Masjid Istiqlal.
Uni Soviet menjadi pemasok utama persenjataan dan peralatan tempur selama era Soekarno, terutama selama Tri Komando Niat (Trikora) untuk pembebasan Irian Barat dan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) untuk konfrontasi dengan Malaysia.
Uni Soviet memberikan bantuan dalam bentuk kapal penjelajah, destroyer, kapal selam, tank amfibi, dan pesawat tempur senilai 600 juta dolar Amerika Serikat kepada Indonesia. Akibatnya, Angkatan Laut Indonesia saat itu diakui sebagai yang terkuat kedua setelah Tiongkok.
BACA JUGA:NATO Menyatakan Tidak Ada Ancaman Militer dari Rusia Terhadap Aliansi Tersebut
Hubungan bilateral yang erat juga tercermin di berbagai bidang lain. Pada tahun 1956, pengiriman mahasiswa Indonesia pertama ke Moskow dimulai, dengan 7 mahasiswa termasuk dua di antaranya adalah pekerja film, Sumanjaya dan Ami Prijono.
Hingga tahun 1962, sekitar 700 mahasiswa Indonesia belajar di berbagai universitas di Rusia, sementara beberapa perwira Angkatan Laut belajar di Fladeo Stock dan Leningrad. Namun, beberapa dari mereka tidak bisa kembali karena peristiwa Gerakan 30 September.
Setelah peristiwa G30S, hubungan akrab antara Indonesia dan Uni Soviet berakhir ketika orientasi pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto berseberangan dengan pemerintahan sebelumnya.
Soeharto membekukan segala bentuk hubungan kerjasama dengan Uni Soviet, termasuk membubarkan lembaga persahabatan Indonesia-Soviet yang sebelumnya menjadi penggerak utama kerjasama ilmu dan budaya kedua negara.
Meskipun Uni Soviet bubar pada era 90-an dan rezim Soeharto tumbang pada era Milenium baru, hubungan yang terputus antara Indonesia dan Rusia kembali terjadi pasca runtuhnya komunisme.
Kerjasama antara kedua negara ini menandai adanya hubungan yang tulus dan tak dibuat-buat, karena Indonesia dianggap sebagai "taman eden" dalam legenda Rusia. Ini menjelaskan mengapa bangsa Rusia, sebagai salah satu dari segelintir bangsa kulit putih yang notabene adalah bangsa Barat, sangat menghargai dan menyukai Indonesia secara tulus dan apa adanya.