RADAR JABAR - Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, berpendapat bahwa film dokumenter Dirty Vote tidak mematuhi dua metode ilmiah dalam mencapai suatu kesimpulan, sehingga dianggap hanya sebagai pembentukan opini semata.
Menurut Karnavian, dua metode ilmiah tersebut adalah metode kongruen dan metode pelacakan. Karnavian juga disebut dalam film tersebut saat membahas provinsi baru di Papua.
"Saya lihat ini pemberitaan dalam bentuk documentary, tapi sebetulnya saya lihat adalah pembentukan opini dengan merangkai sejumlah peristiwa," ujar Karnavian saat berbicara di Konvensi Nasional Media Massa dalam rangka Hari Pers Nasional di Jakarta, Senin (19/2).
BACA JUGA:Prabowo-Gibran Berencana Akan Memisahkan DJP dan DJBC dari Kemenkeu Jika Mereka Dilantik
Dia menjelaskan bahwa metode kongruen adalah cara untuk mengambil kesimpulan tanpa mempertimbangkan sebab dan akibat, hanya karena dianggap serupa. Menurutnya, metode tersebut dapat digunakan untuk membuat hipotesis, tetapi untuk keakuratan yang sebenarnya, diperlukan proses pelacakan.
"Itu boleh, kalau kita ingin mengambil hipotesa. Sama dengan media, ketika membuat hipotesa boleh. Tapi kalau mau membuat tulisan yang betul-betul akurat, ya harus menempuh proses tracing," ujarnya
Karnavian, mantan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), menyatakan bahwa petugas kepolisian sering menggunakan metode-metode tersebut dalam proses investigasi terhadap peristiwa-peristiwa.
Dia menegaskan bahwa metode kongruen tidak cukup sebagai alasan tanpa proses pelacakan yang menyeluruh. Karnavian menyatakan bahwa pelacakan harus mempertimbangkan semua sebab dan akibat untuk menentukan pelaku atau tersangka.
BACA JUGA:Kepala Otorita Ungkap Jakarta akan Jadi Pusat Bisnis dan Keuangan Setelah Ibu Kota Pindah ke IKN
Oleh karena itu, menurutnya, tuduhan terhadap dirinya yang disebut terlibat dalam memenangkan pasangan calon tertentu karena pemekaran provinsi di Papua, masih belum terbukti karena hanya menggunakan metode kongruen tanpa pelacakan.
Dia menjelaskan bahwa pemekaran provinsi di Papua dilakukan sebelum adanya koalisi partai dan pasangan calon untuk pemilu, dan bukan atas inisiatif pemerintah, melainkan dari DPR dan aspirasi masyarakat.
"Tapi tiba-tiba dilompatkan bahwa pemekaran Papua itu dalam rangka untuk mempermudah paslon yang disiapkan pemerintah untuk memenuhi persyaratan 20 persen (suara) dari separuh provinsi, saya bilang itu terlalu jauh," ujarnya.*