Akibatnya, jumlah yang dibayarkan oleh peminjam menjadi sangat tinggi dalam jangka waktu singkat. Misalnya, jika seseorang meminjam uang dengan suku bunga harian yang tinggi, jumlah pembayaran bulanan dapat menjadi hampir tidak terjangkau bagi banyak individu, terutama mereka yang sudah berjuang secara ekonomi.
Alhasil, individu yang tidak mampu membayar pinjaman tepat waktu akhirnya pinjam lagi untuk membayar hutang sebelumnya. Ini menciptakan spiral utang yang makin lama makin besar. Keberadaan utang ini menyulitkan mereka untuk mendapatkan pijakan finansial yang stabil. Makanya banyak pengguna yang jadi korban bunuh diri akibat tidak sanggup membayar utang yang semakin menumpuk.
3. Jebakan Paylater
Namun, seiring semakin tegasnya regulasi dan kebijakan pemerintah dalam mengendalikan praktik pinjol yang merugikan, banyak dari penyedia pinjaman semacam ini mulai tenggelam. Tapi seiring tenggelamnya pinjol, muncul fenomena baru yang berpotensi memperdalam kemiskinan masyarakat.
Fenomena ini bernama "Buy Now Pay Later" (BNPL), bahasa kerennya adalah "beli sekarang bayar nanti". Meskipun pada permukaannya kedengarannya sebagai sebuah solusi bijak, tapi ternyata ada sisi gelapnya juga.
BACA JUGA:Aturan Baru Pinjol 2024 Menurut OJK
Dengan model BNPL ini, di mana tujuan utamanya adalah mengambil keuntungan dari keterlambatan pembayaran atau "late payment fee" seperti Shopee Pay Later yang menerapkan late payment fee sebesar 5% per bulan dari seluruh tagihan, hampir sama sistemnya dengan pinjol. Namun, bedanya di BNPL adalah strategi target sasaran orang konsumtif.
Makanya enggak heran kalau banyak penyedia BNPL bermitra dengan e-commerce untuk menawarkan promosi dan diskon khusus kepada pengguna.
Buy Now Pay Later ini juga memicu dorongan lebih lanjut bagi orang-orang yang konsumtif, tergoda dengan potensi penghematan atau keuntungan dari penawaran khusus. Generasi milenial dan Gen Z merupakan kelompok utama pengguna BNPL.
Apalagi, menurut laporan terbaru dari International Data Corporation (IDC) yang dirilis tahun 2022 kemarin, Indonesia menciptakan gelombang besar pembayaran online, penggunaan sistem Paylater di belanja online itu mencapai 530 juta dolar yang setara dengan 58% dari penggunaan Paylater di seluruh kawasan Asia Tenggara tahun 2020. Prestasi ini menjadikan Indonesia menjadi pemimpin tidak terbantahkan dalam tren pembayaran online.
Sementara itu, Malaysia mengambil posisi kedua dengan pengguna Paylater sebesar 60 juta. Filipina dan Thailand masing-masing mencatat penggunaan Paylater kira-kira 50 juta dan 13 juta dolar. Singapura dan Vietnam, meskipun lebih kecil, juga menyumbang sebesar 10 juta dolar atau 4 juta dolar dalam tren ini.
Laporan dari OJK juga mengungkapkan bahwa jumlah kontrak pengguna Buy Now Pay Later melesat menjadi 72,88 juta kontrak di tahun 2023 bulan Mei, menunjukkan pertumbuhan sebesar 33,25% dalam skala tahunan (year on year) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya di mana pengguna Buy Now Pay Later mencapai 54,70 juta kontrak. Angka ini mencerminkan minat yang terus berkembang dalam layanan tersebut.
BACA JUGA:OJK: Total Pembiayaan Pinjol di 2023 Capai Rp59,64 Triliun
Bukan hanya itu, menurut SVP Marketing Communication Credivo, data menarik lainnya mengungkapkan bahwa pada tahun 2023, 71,4% konsumen yang sebelumnya belum menggunakan layanan Paylater sudah merencanakan untuk mencobanya tahun depan.
Bahkan, 39,9% dari pengguna sudah menggunakan lebih dari satu layanan Paylater. Ini menunjukkan peningkatan signifikan, dengan 27% di Tahun 2022. Gila kan? Ini adalah tren yang menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan minat masyarakat tentang Buy Now Pay Later di Indonesia.
Nah, pada tahun 2025 di Indonesia diprediksi akan menjadi pasar terbesar transaksi Pay Later karena seluruh total belanja masyarakat e-commerce meningkat 8,7 kali lipat dibandingkan 2020. Gila, proyeksi nilainya itu $5,15 miliar.
Jebakan dalam konsumsi impulsif dengan Buy Now Pay Later ini, apa? Oke, walaupun Indonesia menjadi salah satu pengguna BNPL nomor satu di dunia, bukan berarti ini adalah sebuah prestasi, teman-teman. Tapi ini adalah sebuah perilaku konsumtif yang tidak terkendali. Inilah beberapa aspek yang harus dipertimbangkan:
- Menawarkan diskon besar-besaran pada barang tertentu. Diskon ini seringkali dilihat terlalu menggiurkan untuk dilewatkan.
- Menggunakan situs e-commerce, lalu kemudian melihat penawaran diskon langsung tergoda. Mereka mungkin awalnya hanya ingin lihat-lihat, tapi diskon besar membuat mereka nafsu ingin beli.
- Pengguna memilih untuk membeli barang.
- Karena diberi opsi bayar nanti, awalnya mungkin tidak butuh, tapi karena boleh bayar nanti, akhirnya mereka membeli juga.
- Mereka tidak membayar sekarang. Pengguna tahu bahwa mereka akan menerima tagihan Buy Now Pay Later, tapi detik itu juga mereka tidak memikirkan bahwa mereka harus membayar lunas. Pola ini akhirnya bisa menjadi kebiasaan karena tidak ada rasa sakit dalam mengeluarkan uang.
- Ketika tagihan BNPL tiba, pengguna mungkin menyadari bahwa mereka sudah membeli barang yang terlalu banyak, terlalu impulsif, dan mereka harus membayar tagihan yang cukup besar. Ini mengakibatkan tekanan ke keuangan dan kesulitan yang besar untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.