RADAR JABAR - Pengamat politik berdarah bangsawan yang terkenal sangat kritis RAj Mayyasari Timur Gondokusumo menyikapi secara keras dan tegas atas skandal peradilan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang belum pernah terjadi dalam sejarah pada rezim siapapun di negara indonesia.
Menurut Mayyasari, skandal peradilan di Mahkamah Konstitusi jelas menjadi preseden buruk dalam catatan hukum dan demokrasi di negara Indonesia.
Dia mengatakan, pembajakan peradilan dugaan pelanggaran prosedur etik berlapis tanpa proper pada proses putusan MK mengenai gugatan batas usia capres dan cawapres yang menyeret nama Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.
Gibran yang juga putra sulung Presiden Joko Widodo dan keponakan dari Anwar Usman Ketua MK yang diduga sarat KKN (nepotisme) dianggap memberi karpet merah bagi Gibran untuk bisa maju dalam kontestasi politik 2024 mendatang walau dengan usia dibawah 40 tahun membentur UU pemilu no. 7 th 2017 pasal 169 huruf (q) selama ini dimana batas usia wakil presiden minimal 40 tahun.
Dimana sesuai UU NO 48 / 2009 pasal 17 atas ayat (4) ( 5) dan (6 ) mengenai Kekuasaan Kehakiman dikemukakan dengan jelas larangan konflik kepentingan, tidak diperbolehkan mengadili dalam hubungan keluarga, wajib mengundurkan diri dalam persidangan jika masih ada dalam hubungan keluarga.
Pelanggaran NO 09 / PMK /2006 mengenai deklarasi etik dan perilaku hakim terkait independensi, kesalahan lokus gugatan pun terjadi ketika gugatan batas usia capres dan cawapres di tujukan dan diselesaikan di Mahkamah Konstitusi, dimana sesuai UUD 1945 pasal 24 huruf (c) Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yudikatif.
Sebagai negative legislator bukan positif legislator, MK jelas tidak berwenang membuat pasal baru atau norma hukum baru, MK hanya boleh membatalkan norma hukum dari UU yang bertentangan dengan Konstitusi, sedangkan gugatan capres dan cawapres bukanlah ISSUE KONSTITUSIONAL, jelas salah alamat dan harusnya gugatan tersebut ditujukan dan diselesaikan diranah legislatif DPR RI bukan Mahkamah Konstitusi.
Ironinya TAP MPR NO 11 tahun 1998 dan turunanya UU no 28 tahun 1999 yang menyebutkan mengatur dengan jelas penyelenggaraan dan penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme.
Namun MPR lembaga tinggi negara sebagai garda terdepan pilar kebangsaan dan penjaga Konstitusi terlihat tidak ada tindakan politik yang berarti dan tidak bergeming atas kekisruhan skandal putusan MK yang diduga cacat prosedural cacat hukum dan meruntuhkan marwah konstitusi beserta peradilanya.
Baginya, perlu dipertanyakan peran dan kinerja dari lembaga MPR saat ini dibawah kepemimpinan Bambang Soesatyo, memanasnya dugaan pelanggaran etik dan nepotisme di mahkamah konstitusi disertai dugaan intervensi presiden Joko Widodo menjelang kontestasi pemilu 2024.
Tentunya, mengakibatkan kegaduhan diruang publik yang berdampak memburuknya kondusifitas politik nasional di negara indonesia walau banyak negarawan dan publik sudah menyarankan presiden untuk mundur dari jabatan demi menjaga martabat dan netralitas kepala negara dihimbau mengedepankan fatsun atau etika politik untuk meminimalisir potensi people power dan pemakzulan yang dapat mengakibatkan chaos stabilitas nasional bangsa.
Seluruh element bangsa di harapkan kritis dan membahu menyelamatkan bangsa dan konstitusi dari upaya penguasa atas dugaan pembajakan peradilan dan politik dinasti yang akan menciderai keberlangsungan demokrasi bangsa.***