BANDUNG, RadarJabar - Tindak pidana yang hampir terjadi di setiap gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) yakni politik uang memang sangat mengkhawatirkan. Bagaimana tidak, politik uang ibarat parasit yang menggerogoti demokrasi di negeri ini.
Menyoal hal tersebut, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Dede Kania membeberkan ancaman bagi pelaku yang terlibat tindak pidana politik uang.
Sebelum itu, Dede mengatakan bahwa permainan politik seperti ini bisa berupa barang yang tidak termasuk ke dalam aturan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
"Kalau kita lihat diaturan, politik uang bukan hanya uangnya, tapi juga bisa berupa barang, dan janji-janji juga," kata Dede sesuai kegiatan Bawaslu Kota Bandung bertajuk Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif Kelurahan Cipamokolan, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung Rabu, 14 September 2022.
"Barang yang tidak termasuk ke dalam bahan kampanye, kalau dia sudah diatur dalam PKPU-nya bahwa itu termasuk kepada bahan kampanye, itu tidak termasuk ke dalam politik uang. Jika tidak diatur, apapun bentuknya dia termasuk ke dalam politik uang," tambahnya.
Lebih lanjut, Dede menjelaskan ancaman dan hukuman tindak pidana permainan politik seperti ini bagi para pelakunya yang sudah diatur dalam pasal 523 ayat 1, 2, dan 3 di Undang-Undang 7 tahun tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Menurut Dede, ada tiga jenis ancaman dan hukuman dalam tindak pidana permainan politik seperti ini. Pertama, untuk masa kampanye ancaman pidananya paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp24 juta.
Untuk masa tenang, sambung Dede, ancaman pidananya 4 tahun paling lama dan denda Rp48 juta paling banyak. Sedangkan yang ketiga masa pemilihan umum, ancaman pidana paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.
Dede menyebutkan bahwa ancaman dan hukuman tersebut berlaku kepada setiap orang, bukan hanya yang memberikan termasuk yang menerima.
"Itu yang harus disampaikan kepada masyarakat sebenarnya. Jadi permainan politik seperti ini tidak hanya kepada yang memberikan.vUntuk Pemilihan Dewan, Kepala daerahnya, Tim suksesnya, tapi semua masyarakat yang ikut menerima calon pemilih," jelasnya.
Dede menerangkan, hal tersebut merupakan tanggungjawab semua stakeholder penyelenggaraan Pemilu dalam uapaya pencegahannya.
"Bukan hanya Bawaslu, tapi tadi KPU, Partai Politik atau seluruh unsur di masyarakat, akademisi itu juga termasuk," tandasnya.
Sementara itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Bandung menduga akan ada perubahan dalam bentuk transaksi politik uang pada tahapan Pemilu dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2024.
Koordinator Divisi Humas dan Hubungan Antar Lembaga Bawaslu Kota Bandung Farhatun Fauziah mengatakan, di kota-kota besar, seperti Kota Bandung rawan terjadi politik transaksional.
"Karena kita di kota besar, Kota Bandung, menganggap bahwa kemungkinan di tahun 2024 akan berbeda bergeser bentuk dari politik uang atau politik transaksional yang biasanya konserpatif berupa pembagian uang," kata Fauziah.