BANDUNG - Polemik lahan sengketa di kawasan Dago Elos dan Cirapuhan masih bergulir. Terlebih dibarengi respon kecewa dari warga atas munculnya Putusan Peninjauan Kembali (PK) yang dikabulkan Mahkamah Agung (MA).
Penasihat hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kota Bandung, Heri Pramono menyebut, saat ini warga dan pihaknya masih menakar langkah serta upaya hukum yang bakal diambil.
Termasuk memperhitungkan tiap kemungkinan serta celah-celah yang bakal dipakai untuk persidangan. Sementara ini, kata Heri, langkah tersebut masih tidak bisa dipublikasikan.
"Kami masih menghitung resiko atau peluangnya. Ada beberapa langkah yang akan ditempuh," ungkap Heri kepada Jabar Ekspres, Jumat (2/9).
Selain upaya demikian, pihaknya masih terus memperbarui kondisi dan situasi soal keberlangsungan sengketa lahan yang mendera sekitar 6-an hektare tersebut.
"Berkirim surat ke BPN, Ombudsman. Kami sering update beberapa langkah kemarin sebelum ada putusan MK, tetap dijalankan," tambahnya.
Kendati demikian, pengaktifan di lahan bersengketa itu mesti terus digalangkan. Heri menuturkan bahwa kegiatan tersebut dinilai penting, setidaknya sebagai sikap politis dari warga.
"Menandakan bahwa warga telah memakai ruang tersebut. Kalau tanah terlantar itu, kan, hak tanahnya ada tapi tidak terurus. Jadi pengaktifan ruang itu sebagai upaya bahwa kami mengurus tanah ini," jelasnya.
Sebelumnya pada tahun 2020, warga menang atas gugatan ahli waris keluarga Muller yang mengklaim lahan seluas 6,9 hektar. Sebuah kemenangan bagi warga berdasarkan putusan kasasi Nomor 934.K/Pdt/2019.
Hakim Mahkamah Agung waktu itu mempertimbangkan Eigondom Vervoding atas nama ‘George Henrik Muller’ sudah berakhir. Lantaran paling lambat dilakukan pengajuan konversi seharusnya pada 24 September 1980.
Sementara, berselang dua tahun kemudian, MA malah mengeluarkan Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 109/PK/Pdt/2022.
Dalam putusan PK tersebut, Heri Hermawan Muller yang mengklaim hak atas tanah warga, ditetapkan oleh hakim bahwa masih berhak atas kepemilikan objek tanah seluas 6,9 hektar di Dago Elos.
Sontak hal tersebut mendapatkan perlawanan dari warga, “Ada kerancuan-kerancuan dalam putusan PK itu sendiri, yang dimana putusan kasasi itu mengatakan bahwa sudah berakhirnya masa eigondom verponding dan berstatus sebagai tanah negara,” tegas Heri, beberapa waktu lalu.
"Tetapi bagaimana mungkin, dalam putusan (PK), warga dianggap melakukan perbuatan melawan hukum di atas tanah itu sendiri. Ini, kan, yang rancu,” pungkasnya. (zar)