Hari Asyura Menurut Syaikhul Islam
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang apa yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ‘Asyura'(10 Muharram) yang berupa bercelak, mandi, memakai hina’ (pewarna tangan, pacar), saling berjabat-tangan, menampakkan kegembiraan, apakah ini ada asal yang shahih di dalam agama ini? Ataukah itu adalah sebuah bid’ah?
Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian manusia dalam perkumpulan kesedihan, kerinduan, nadb (penyebutan kebaikan-kebaikan orang yang sudah mati di hadapan umum), niyahah (meratap), dan merobek-robek baju, apakah itu semua memiliki asal?!
Maka beliau rahimahullah menjawab, “Alhamdulillâh rabbil ‘âlamîn, tidak ada satu hadits shahihpun dari semua itu yang diriwayatkan dari Nabi , tidak juga dari para sahabat beliau, dan tidak ada satupun di antara para imam kaum muslimin yang menganggapnya baik, tidak imam empat tidak juga yang lain. Para pemilik kita-kitab yang menjadi pegangan tidak pernah meriwayatkan hal tersebut, tidak dari Nabi , tidak dari para sahabat, tidak juga dari para tabi’in, tidak yang shahih, maupun yang dha’if, tidak pada kitab-kitab shahih, tidak pada kitab-kitab sunan, tidak juga pada kitab-kitab musnad. Hadits-hadits tersebut tidak ada satupun yang dikenal pada masa-masa yang paling diutamakan.” (al-Fatawa al-Kubra (1/194)).
Karena inilah maka kita ahlussunnah wal jama’ah menolak dengan keras bentuk perayaan atau pesta apapun pada hari-hari di bulan Muharram, terutama pada hari kesepuluh (hari Asyura`), karena hal itu bukanlah hari raya, tidak dirayakan, dan bahkan kami berkeyakinan bahwa merayakannya adalah menyalahi sunnah Nabi dan sunnah Khulafaurrasyidin. Inilah yang disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam pertanyaan terdahulu.
Berkaitan dengan terbunuhnya Husain radhiallahu’anhu, maka kita berkeyakinan bahwa al-Husain radhiallahu’anhu telah terbunuh dalam keadaan terzhalimi, dan sebagai syahid, dan tidak ada keragu-raguan dalam hal itu. Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Adapun orang yang telah membunuh al-Husain radhiallahu’anhu atau yang membantu pembunuhannya, atau ridha dengan hal itu, maka wajib atasnya laknat Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (Ibnu Taimiyah, Majum’ al-Fatawa (4/487))
Inilah sikap beliau terhadap al-Husain radhiallahu’anhu dan terhadap orang-orang yang membunuhnya.
Puasa Asyura dan Keutamaannya
Mengenai puasa Asyura` ahlussunnah waljama’ah berpandangan bahwa itu adalah sunnah.Telah shahih dari Nabi , juga telah shahih dari pihak syi’ah dengan periwayatan para Imam.
Telah shahih bahwa Nabi mendapati orang-orang Yahudi Madinah menjadikan hari Asyura sebagai hari puasa dan hari raya (pesta). Orang-orang Khaibar merayakan dengan memakaikan perhiasan-perhiasan kepada para wanitanya, maka Rasulullah memerintahkan kaum muslimin agar puasa saja tanpa hari raya pada tanggal 10, dan ditambah dengan hari sebelumnya yaitu tanggal 9 (HR. Bukhari: 1980, 1981; Muslim: 2613, 2614, 2619, 2620).
Nabi mengabarkan bahwa puasa hari Asyura akan menghapuskan dosa satu tahun yang lalu. (HR. Muslim: 2700)]
5 hal yang menyedihkan
Pertama; bahwa riwayat-riwayat tentang puasa tersebut tidak pernah disebut oleh ulama-ulama syiah.
Kedua: mereka juga tidak pernah menyebut kapan dimulainya acara ratapan Husainiyyah yang tidak pernah dilakukan oleh para Imam tersebut.
Ketiga: saat mereka menyebut tragedi Karbala, kisah mati syahidnya al-Husain radhiallahu’anhu dan ahlul Bait yang lain mereka banyak melakukan pemutar balikan fakta, melalui riwayat-riwayat yang lemah dan atau palsu!!
Sebenarnya pembunuh al-Husain radhiallahu’anhu adalah orang-orang Kufah sendiri –semoga Allah memperlakukan merek dengan keadilan-Nya – bukan selain mereka, tidak ada seorangpun menyertai mereka selain mereka sendiri.