Radarjabar.disway.id, BANDUNG - Temuan kasus kekerasan terhadap anak (KTA) di Kota Bandung, pada tahun 2022, dinilai meningkat. Per Juli tahun ini, angkanya sudah menyentuh 90 kasus.
Sementara, berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung, pada 2020 dan 2021, temuan laporan kekerasan terhadap anak mencapai angka 133 dan 132 kasus.
Kepala DP3A Kota Bandung, Rita Verita, menyebut bahwa sejumlah faktor menjadi penyebab terjadinya KTA. Menurutnya, mayoritas kekerasan terhadap anak pada tahun ini terjadi di lingkungan keluarga.
"Paling banyak, faktor ekonomi keluarga," ujarnya saat dihubungi, pada Rabu (27/7) sore.
Selain itu, temuan kasus kekerasan tersebut disusul dengan beberapa temuan di sekitaran instansi pendidikan. Bila ditilik lebih dalam, permasalahan di rumah tangga berkaitan dengan ketahanan keluarga.
"Kalau (ketahanan) sudah baik, tentu, keluarga bisa menjaga kualitasnya. Sehingga tentunya tidak akan ada anak yang broken home, jadi harmonisasi keluarga bisa dijaga," ucapnya.
Sebaliknya, Rita menuturkan bahwa keluarga yang tidak bisa menjaga keharmonisan, tentu, bakal berdampak negatif pada anak. Termasuk anggota keluarga lainnya.
"Semisal ada kasus, si bapak kena PHK pekerjaan. Sehingga sering memunculkan konflik antara ibu dan ayah. Mungkin ibu tidak berani melawan ayah, sehingga yang kena siapa? Yang kena anaknya," imbuh Rita.
Hal seperti demikian, lanjutnya, acapkali terjadi dalam keluarga yang tidak harmonis. Lantas dirinya menghimbau agar keluarga yang kesulitan menyelesaikan masalah dapat langsung berkonsultasi ke pihaknya.
"Supaya tidak berlarut-larut. Juga semua keluarga bisa berkonsultasi. Karena ada juga yang menutup diri," ucap Rita.
"Tidak usah ragu-ragu dan malu-malu untuk konsultasikan ke UPTD PPA Kota Bandung," tambahnya.
Dalam menangani hal tersebut, dirinya mengungkapkan bahwa sosialisasi masih terus digencarkan. Baik itu terhadap komunitas maupun tiga kader di kewilayahan.
Adapun ketiga kader itu berada di kelurahan/kecamatan. Pertama, PLIPPA (Pusat Layanan Informasi Pemberdayaan Perempuan dan Anak). Kedua, PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat). Ketiga, Puspel PP (Pusat Pelayanan Pemberdayaan Perempuan).
"Secara simultan untuk menginformasikan bagaimana agar kekerasan terhadap anak ini tidak terus meningkat," tegasnya.
"Kami juga melakukan bedah kasus, termasuk di tingkat sekolah.Supaya guru dan kepala sekolah di tingkat SMP, lebih paham lagi terhadap isu kekerasan anak," pungkasnya.*** (zar)