Istilah Ghibah kini sudah sangat familiar ditelinga kita. Ghibah bermakna menggunjing adalah membicarakan aib dan kejelekan seseorang, sementara orang yang dibicarakan tidak berada di tempat tersebut.
Mendengar istilah ghibah maka hal negatif yang akan langsung terbayang. Apalagi ada sebuah kisah dimana disebutkan bahwa penghuni neraka mayoritas adalah perempuan. Kenapa perempuan, karena perempuan paling banyak membuat dosa dengan mulutnya yakni ghibah.
Hukum melakukan ghibah adalah haram. Al-Qur’an telah melarang dengan tegas orang yang menggunjing saudaranya. Bahkan al-Quran menyamakan orang yang menggunjing seperti orang yang memakan daging saudaranya sendiri (lihat QS. Al-Hujurat: 12).
Tapi ternyata tidak semua ghibah hukumnya haram. Imam an-Nawawi (w. 676 H) dalam kitabnya Riyadhus Shalihin menyebutkan, bahwa adakalanya ghibah itu tidak dihukumi haram melainkan mubah, bahkan wajib jika darurat.
اعلم أن الغيبة تباح لغرض صحيح شرعي لا يمكن الوصول إليه إلا بها
“Ketahuilah bahwa ghibah terkadang dibolehkan untuk tujuan yang benar dan syar’i, yang tidak mungkin sampai pada tujuan itu tanpa adanya ghibah tersebut.”
Menurut Imam Nawawi ghibah yang dikecualikan itu ada enam macam, di antaranya:
Pertama, melaporkan kezaliman
Maka dibolehkan bagi orang yang dizalimi melapor kepada penguasa dan hakim atau siapa pun yang memiliki kekuatan atau kemampuan untuk menegakkan keadilan terhadap orang yang menzalimi.
Kedua, membantu orang lain untuk menghilangkan kemungkaran atau mengembalikan orang yang bermaksiat kepada kebenaran.
Misalnya perkataan seseorang kepada penguasa: “Si Fulan melakukan ini, maka cegah atau tegurlah ia dari kemungkaran tersebut.” Adapun maksud dari membicarakan aibnya itu adalah agar sampai kepada tujuannya yaitu menghilangkan kemungkaran. Namun jika tujuannya bukan itu, maka hukumnya haram.
Ketiga, meminta fatwa.
Misalnya seseorang berkata kepada seorang mufti: “Suamiku menzalimiku dengan melakukan ini dan ini, apakah boleh dia seperti itu? Dan apa yang harus aku lakukan untuk selamat darinya, mendapatkan hakku, dan menolak kezalimannya?” Maka yang seperti ini dibolehkan karena adanya kebutuhan.
Tetapi menurut Imam Nawawi, yang lebih baik dan lebih berhati-hati adalah dengan menyamarkan nama orang yang bersangkutan. Seperti dengan sebutan seorang laki-laki, seorang suami, si Fulan, si Fulanah, dsb.
Misalnya, “Apa pendapatmu tentang seseorang atau seorang suami yang melakukan hal seperti ini?”. Maka dengan cara seperti ini tentunya akan tetap mencapai tujuan si penanya yaitu meminta fatwa, meskipun tanpa dibarengi dengan spesifikasi atas orang yang dibicarakan.