BANDUNG - Polemik sengketa lahan seluas 6,9 hektare di Dago Elos, Kota Bandung menyeret aset yang diduga masih milik pemerintah: Terminal Dago.
Terminal seluas kurang lebih 500 meter itu ikut terseret dalam konflik lahan yang melibatkan warga Dago Elos sebagai tergugat, melawan ahli waris dari keluarga Muller sebagai penggugat.
Warga Dago Elos yang mengandalkan terminal tersebut sebagai tempat matapencaharian, gusar dan khawatir apabila sewaktu-waktu pihak penggugat menang.
Seperti yang dirasakan sopir angkot jurusan Dago - Stasiun, Karso, 63, mengaku cemas apabila hal itu benar-benar terjadi.
"Resah, ingin dapat bantuan pemerintah. Dipertahankan ini terminal, jangan sampai hilang," ucapnya ketika ditemui di Terminal Dago, Kota Bandung, Rabu (29/6).
Kendati memang harus angkat kaki, Karso mengungkapkan, akan menerima dengan lapang dada. Namun dengan sejumlah pertimbangan yang tidak merugikan.
"Asal dikasih pengganti yang sesuai, jangan asal-asalan. Kan, sekarang, segala mahal," tandasnya.
Bersamaan, seorang tukang bengkel, Dahlan, 70, mengatakan bahwa semenjak terjadi konflik lahan di Dago Elos, pemerintah belum pernah memperlihatkan batang hidungnya.
"Pemerintah belum hadir. Padahal, kan, sama. Warga besar maupun kecil harus dilindungi," ucapnya.
Bukan tanpa sebab, kehadiran pemerintah dibutuhkan. Pasalnya, warga kini mulai cemas. Was-was. Yakni seusai putusan peninjauan kembali (PK) dari pihak penggugat yang dikabulkan Mahkamah Agung (MA).
"Pokoknya, pemerintah itu harus hadir. Jangan sampai ada ricuh. Ada permasalahan yang tidak diharapkan, lah," pungkasnya. (zar)