BPKHTL Wilayah XI Yogyakarta Ungkap Lahan Bandung Zoo Termasuk Kategori Area APL, Bukan Milik Pemkot Bandung

--
BANDUNG- Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan Tata Lingkungan (BPKHTL) Wilayah XI Yogyakarta pada Kementerian Lingkungan Hidup (LHK) menyampaikan data tertanggal 22 Januari 2025, bahwa lahan Kebun Binatang Bandung atau Bandung Zoo, area eks-situ dengan luas sekitar 11,75 hektare termasuk kategori Area Penggunaan Lain (APL). Artinya, lahan tersebut belum memiliki legalitas kepemilikan yang pasti dan statusnya masih kosong dalam peta kawasan hutan.
"Berdasarkan surat BPKHTL Wilayah XI Yogyakarta tersebut, polemik terkait kepemilikan lahan Bandung Zoo bukan milik dari Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung. Dimana lahan Bandung Zoo selama ini diklaim sebagai asset Pemkot Bandung. Dengan demikian Pemkot Bandung hanya memiliki sertifikat hak pakai, bukan sebagai pemilik lahan yang sah,” ungkap Yan Rizal, perwakilan dari Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial (Gema PS) Indonesia Jawa Barat–Banten, Kamis (14/8/2025).
Menurut Rizal, Gema PS Indonesia Jawa Barat-Banten, merasa terpanggil untuk mengklarifikasi status hukum lahan tersebut setelah melihat perdebatan berkepanjangan antara Pemkot Bandung dan pengelola kebun Binatang yakni Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT).
“Jadi berdasarkan surat yang dikeluarkan BPKHTL Wilayah XI Yogyakarta, lahan tersebut masuk dalam katagori APL, dengan demikian Pemkot Bandung hanya mempunyai sertifikat hak pakai yang diterbitkan pada 7 Februari 2025,” imbuhnya.
Rizal menjelaskan, hak pakai berbeda dengan hak milik. Dimana pemegang hak pakai hanya berwenang mengelola lahan, seperti halnya Perhutani mengelola tanah milik kehutanan. Dan pengelola tidak punya hak kepemilikan, dengan demikian pemilik tanah masih tetap Kehutanan.
“Dalam analisis BPKHTL Wilayah XI Yogyakarta jelas disebutkan, lahan ini berada di APL. Secara hukum, pihak yang paling berhak mengajukan pengelolaan adalah YMT, karena mereka sudah mengelola lahan tersebut sejak 1933,” jelasnya.
Rizal menegaskan, YMT memang memiliki sejarah panjang, didirikan pada 1933, yayasan ini berubah bentuk pada 1957 menjadi Yayasan Margasatwa Tamansari Bandung atas prakarsa tokoh budaya Sunda, Raden Ema Bratakoesoemah.
“Raden Ema ini tokoh penting yang banyak berbuat untuk bangsa, sekaligus pelestari budaya Sunda, jadi lahan ini adalah lahan orang Sunda,” tegasnya.
Untuk memperjelas status area APL tersebut lanjut Rizal, Gema PS telah melayangkan surat resmi kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandung. Surat tersebut meminta penjelasan atas dasar hukum penerbitan sertifikat hak pakai dengan nomor 10.15.000.11777.0 atas nama Pemkot Bandung.
“Kami ingin tahu, apa landasan hukumnya BPN mengeluarkan sertifikat hak pakai ini. Karena kalau merujuk pada data BPKHTL Wilayah XI Yogyakarta, lahan ini berstatus APL dan bukan milik Pemkot Bandung,” tandasnya.
Rizal menegaskan, BPN berwenang mengeluarkan sertifikat dengan berbagai jenis hak, tetapi tetap harus sesuai dengan peruntukan dan status tanah yang berlaku. Kalau tanahnya APL, harus jelas siapa pemiliknya. Jangan sampai sertifikat hak pakai malah menimbulkan konflik baru.
Polemik lahan Bandung Zoo bukanlah isu baru. Selama bertahun-tahun, tarik-menarik kepemilikan dan pengelolaan telah memicu konflik antara berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, yayasan pengelola dan pihak-pihak lain yang mengklaim hak atas tanah tersebut.
Status APL yang belum memiliki legalitas kepemilikan justru menjadi celah yang memicu tumpang tindih klaim. Dalam perspektif Gema PS, penyelesaian masalah ini harus berpijak pada data dan kajian resmi dari lembaga berwenang seperti BPKH, bukan semata pada klaim administratif.
Ia menilai penetapan lahan Bandung Zoo seluas 11,75 hektare keberadaannya di bawah YMT karena telah mengelola lahan sejak era kolonial menjadi faktor penting dalam menentukan prioritas pengelolaan. Yayasan ini bukan hanya sekadar pengelola, tetapi juga bagian dari sejarah budaya dan konservasi di Bandung.
Sumber: