Makna Validasi Sosial dan Kompromi Bagi Gen Z

Makna Validasi Sosial dan Kompromi Bagi Gen Z

Makna Validasi Sosial dan Kompromi Bagi Gen Z-Ilustrasi/Unsplash-

Efek dari peer pressure ini terjadi karena adanya pemicu rasa takut akan bahaya yang ditangkap oleh amigdala, sehingga seseorang cenderung membuat keputusan tidak berdasarkan apa yang dia pikirkan atau anggap terbaik, tetapi berdasarkan apa yang orang-orang di sekitarnya harapkan.

Sebagai contoh, misalnya kamu memiliki pandangan terhadap suatu hal yang menurutmu benar, dan kamu memiliki alasan yang valid untuk mendukung pandangan tersebut. Namun, pandangan itu berbeda dengan apa yang diyakini oleh orang-orang di sekitarmu.

Alih-alih menantang pendapat mereka, kamu mungkin akan lebih memilih untuk diam karena merasa khawatir dengan adanya tekanan sosial tadi. Otakmu sudah memberi sinyal bahaya jika kamu mencoba menentang pandangan mereka.

Bayangkan, dalam kehidupan kita sebagai manusia, kita mungkin tidak hanya berkompromi terkait dengan pendapat atau pandangan, tetapi juga dalam hal-hal yang lebih besar, seperti mimpi hidup, tujuan jangka panjang, atau bahkan keputusan-keputusan besar dalam hidup seperti memilih karir, jalan pendidikan, pasangan hidup, atau cara kita menjalani hubungan dengan pasangan. Bisa jadi, semua keputusan tersebut dipengaruhi oleh kompromi kita dengan lingkungan sekitar.

Apakah itu berarti peer pressure adalah hal yang buruk? Sebenarnya, kita tidak bisa langsung menyimpulkan demikian. Intinya, peer pressure berisi pandangan, nilai, atau sikap yang dipegang oleh mayoritas orang, yang kemudian dapat memicu insting kita untuk mengikuti hal tersebut.

Namun, apakah pandangan atau sikap tersebut selalu buruk? Tentu tidak. Jika pandangan atau sikap yang umum dianut ternyata benar atau baik, maka peer pressure justru bisa menjadi hal yang positif. Ini karena semua orang akan terdorong untuk mengadopsi apa yang benar atau baik tersebut.

Dengan kata lain, poinnya bukan pada peer pressure-nya itu sendiri, apakah baik atau buruk, tetapi pada apa isi dari peer pressure tersebut. Jika isinya baik, maka tidak ada salahnya untuk mengikuti dan mendorong orang lain agar mengadopsi hal tersebut.

BACA JUGA:Mengenal Doom Spending, Kebiasaan Boros yang Sering Dilakukan Gen Z dan Milenial

BACA JUGA:5 Olahraga Seru untuk Jantung Sehat ala Gen Z

Sebenarnya, kita seharusnya ingin, ketika seseorang memiliki pandangan atau sikap yang baik, cerdas, berbasis penalaran dan fakta yang benar, serta dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat, dia harus berjuang untuk mempertahankan itu sehingga pandangan tersebut menjadi peer pressure yang diikuti banyak orang.

Di situlah kita perlu berupaya agar hal itu bisa menjadi arus utama, diadopsi oleh banyak orang, dan akhirnya diterima secara umum. Untuk mewujudkan hal tersebut, kita harus memulai dengan berani melawan peer pressure yang ada, terutama jika sikap atau pandangan yang berlaku saat ini justru perlu dikoreksi. Kita harus berani untuk tidak berkompromi dalam hal-hal yang seharusnya tidak dikompromikan.

Hasilnya, sekarang sudah ada ribuan orang yang ikut dalam gerakan ini. Berdasarkan riset dari EY, generasi Z bisa dibilang cukup tegas dalam banyak hal yang penting bagi mereka, di mana mereka tidak akan berkompromi dalam masalah tersebut.

Berdasarkan data dari riset EY, 88% generasi Z di seluruh dunia ingin diberdayakan untuk menjadi diri sendiri dalam segala aspek hidup mereka. Artinya, mereka tidak akan berkompromi soal jati diri. Selanjutnya, 86% generasi Z di seluruh dunia tidak ragu untuk mempertanyakan nilai-nilai lama yang dominan namun tidak relevan, atau bahkan dapat menghambat kemajuan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.

Kami perhatikan, setelah kampanye ini, semakin banyak orang dari berbagai latar belakang dan generasi yang semakin sadar tentang hal-hal yang sebaiknya tidak kita kompromikan. Kita tetap akan hidup di tengah masyarakat yang penuh dengan kompromi, karena itu bagian dari proses evolusi manusia yang telah dijelaskan sebelumnya.

Sumber: malaka project