RI dan Malaysia Kompak Desak ASEAN Tangani Polemik di Myanmar
JAKARTA – Indonesia dan Malaysia sepakat mendesak ASEAN membahas pergolakan politik di Myanmar, setelah terjadinya kudeta militer yang berlangsung di negara itu pada Senin (1/2/2021). Pernyataan itu diutarakan oleh Presiden Joko Widodo bersama dengan Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin usai melakukan pertemuan bilateral di Istana Negara, Jakarta, Jumat (5/2/2021). Dalam pernyataan pers bersama, Jokowi mengatakan, bahwa Indonesia-Malaysia sepakat mengutus menteri luar negeri masing-masing untuk mengusulkan pertemuan khusus ASEAN terkait situasi di Myanmar. “Kami berdua sepakat meminta menteri luar negeri kedua negara untuk berbicara dengan Ketua ASEAN guna menjajaki dilakukan pertemuan khusus menlu ASEAN untuk membahas perkembangan di Myanmar,” kata Jokowi melalui siaran langsung YouTube Sekretariat Presiden, Jakarta, Jumat (5/2/2021). Jokowi mengatakan, Indonesia dan Malaysia sangat prihatin dengan kudeta yang berlangsung di Myanmar. “Kita berharap perbedaan politik itu dapat diselesaikan sesuai hukum yang berlaku,” ujarnya. Senada, Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin juga menyatakan keprihatinan Malaysia soal penahanan pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, dan sejumlah pejabat pemerintah lain oleh militer negara itu selama kudeta berlangsung. “Malaysia menganggap pergolakan politik di Myanmar saat ini sebagai masalah yang serius bagi kawasan,” ujar Muhyiddin. “Malaysia juga memandang serius keadaan politik di Myanmar, yang merupakan satu langkah mundur proses demokrasi di negara tersebut,” imbuhnya. Muhyiddin merasa khawatir, krisis politik di Myanmar tak hanya mengancam negara tersebut, tetapi juga lambat laut mengancam keamanan dan stabilitas Asia Tenggara. “Saya sangat setuju supaya kedua menteri luar negeri (RI-Malaysia) diberikan mandat untuk mencari kesepakatan musyawarah khas ASEAN demi membicarakan isu ini lebih mendalam,” pungkasnya. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mendesak masyarakat dunia untuk memastikan, jika kudeta militer di Myanmar gagal. “Pengambilalihan kekuasaan “tidak bisa diterima” dan pemimpin kudeta harus dibuat untuk memahami bahwa ini bukanlah cara untuk memerintah suatu negara,” kata Guterres. Pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi ditahan ketika militer merebut kekuasaan pada Senin (01/02) lalu. Baik Suu Kyi atau Presiden Myanmar Win Myint yang juga ditahan militer, hingga kini belum diketahui keberadaannya. Polisi di Myanmar kemudian mengenakan dakwaan terhadap Suu Kyi dan memberlakukan tahanan rumah terhadapnya hingga 15 Februari. Militer Myanmar yang memberlakukan kondisi darurat selama setahun, berusaha untuk membenarkan tindakannya dengan menuduh kecurangan dalam pemilu November lalu yang dimenangkan oleh partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dimpimpin Suu Kyi. (der/fin)
Sumber: