KAMMI Bandung Soroti Pasal Bermasalah dalam KUHAP Baru, Desak Revisi dan Penguatan Perlindungan HAM

Senin 24-11-2025,13:40 WIB
Reporter : Fadillah Asriani
Editor : Fadillah Asriani

RADAR JABAR — Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (R-KUHAP) yang ditetapkan pada 18 November 2025 dan akan berlaku mulai 2 Januari 2026 menuai kritik dari berbagai kalangan.

Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Bandung menyatakan keprihatinan mendalam atas sejumlah pasal yang dinilai bisa membuka peluang kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan mengancam prinsip demokrasi.

Kritik tersebut mengemuka dalam Diskusi Publik Bidang Kebijakan Publik KAMMI Bandung bertajuk “KUHAP di Persimpangan: Reformasi Progresif atau Kemunduran Demokrasi”, yang menyoroti enam pasal dianggap bermasalah dan berpotensi membuat “semua orang bisa kena tindak pidana”.

Enam Pasal Disorot KAMMI Bandung Dalam diskusi publik tersebut, sejumlah pasal yang dinilai bermasalah antara lain:

1. Pasal 5 – Penangkapan dan Penahanan di Tahap Penyelidikan

Dalam KUHAP baru, penyelidik diperbolehkan menahan terduga pelaku meski proses masih dalam tahap pencarian fakta dan belum ada bukti yang cukup. KAMMI menilai hal ini membuka peluang penahanan sewenang-wenang terhadap warga yang belum tentu melakukan tindak pidana.

2. Pasal 7 dan 8 – Kewenangan Polri Menguat, PPNS Harus Berkoordinasi

Kewajiban penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk berkoordinasi dengan penyidik Polri dianggap menempatkan Polri sebagai lembaga super power yang berpotensi bertindak di luar kontrol.

3. Pasal 16 – Undercover Buy dan Potensi Penjebakan

Metode investigasi berupa pembelian terselubung diperbolehkan untuk semua tindak pidana. Hal ini dinilai membuka peluang aparat melakukan penjebakan dan merekayasa tindak pidana terhadap warga.

4. Pasal 74 – Restorative Justice Berpotensi Dipaksakan

KAMMI menilai pasal ini memungkinkan penyelidik memaksa seseorang yang belum terbukti bersalah untuk berdamai atas nama restorative justice. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memaksa orang yang tidak bersalah mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya.

5. Pasal 90 dan 93 – Upaya Paksa Tanpa Batasan Tegas

Tidak adanya batasan tertentu dalam tindakan penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan dinilai membuka ruang penyalahgunaan wewenang oleh aparat.

6. Pasal 105, 112, 124, dan 132 – Penggeledahan, Penyitaan, dan Penyadapan Tanpa Izin Hakim

Penyelidik dan penyidik diberi kewenangan melakukan tindakan tersebut tanpa persetujuan hakim. KAMMI menyebut hal ini sebagai ancaman serius terhadap perlindungan hak warga negara.

Ketua Bidang Kebijakan Publik KAMMI Bandung, Alvi Rahmat, mengatakan pasal-pasal tersebut akan memicu ketidakpastian hukum dan menempatkan warga pada situasi rawan kriminalisasi.

“Beberapa pasal dalam KUHAP ini berpotensi membuat semua orang bisa terkena proses hukum walaupun tidak melakukan tindak pidana. Jika dibiarkan, kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan tidak akan tercapai,” ujar Alvi.

Sementara itu, Ketua Umum Pengurus Daerah KAMMI Bandung, Rian Trianoto, menilai pembaruan hukum harus tetap mengedepankan perlindungan HAM dan tidak memperbesar potensi kesewenang-wenangan aparat.

“Pembaruan hukum dalam KUHAP ini seharusnya progresif. Tetapi pasal-pasal bermasalah ini justru berpotensi disalahgunakan dan bisa membungkam kritik, termasuk oleh mahasiswa,” tegasnya.

Pernyataan Sikap KAMMI Bandung KAMMI Bandung menyampaikan lima tuntutan resmi:

1. Mendesak pemerintah dan DPR merevisi pasal-pasal KUHAP yang berpotensi disalahgunakan aparat.

2. Menuntut penguatan peran dan fungsi pengawasan hakim dalam setiap tindakan upaya paksa.

3.Menolak penyalahgunaan restorative justice untuk memaksa pengakuan dari pihak yang tidak bersalah.

4.Mendesak adanya jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia dalam seluruh proses hukum.

5.Mengajak seluruh elemen masyarakat melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait pasal-pasal bermasalah dalam KUHAP.

KAMMI Bandung menegaskan akan terus mengawal isu KUHAP dan mendorong pemerintah menjalankan reformasi hukum yang adil, transparan, serta berorientasi pada perlindungan hak warga negara. ()

Kategori :